Senin, 20 Desember 2010

Anniversary ke - 6

Beberapa tahun setelah kejadian ta’aruf yang gagal, karena tidak mendapat retu dari bunda. Saya kembali menjalani kehidupan seperti biasanya. Kerja, kuliah S-2, ngaji, aktif di kegiatan kepartaian, ikut kegiatan sosial sampai dengan aktif di Ziswaf daerah Bogor. Hari saya Full dengan kegiatan, menjadikan saya jarang berfikir ke arah pernikahan. Yakin, jika saatnya tiba Allah akan hadirkan jodoh yang terbaik untuk saya.

Akhir pekan ini saya dan beberapa teman diminta membantu acara khitanan masal dari seorang dermawan yang memiliki minimarket di Kota Bogor. Tenaga medis sudah dipanggil dari LKC (Lembaga Kesehatan Cuma-Cuma), lengkap dengan peralatan dan obat-obatan. Masih kurang beberapa orang untuk mengatur anak-anak yang akan dikhitan, dan perlengkapan lainnya. Dari mulai membuat daftar, mengabsen, membagikan bingkisan dan obat, sampai memegang si anak saat mau dikhitan, menjadi bagian dari tugas kami.

Senang, lucu, haru melihat anak-anak kecil yang selesai dikhitan. Ada yang menangis, ada yang cool abis, ada juga yang kaburr, karena takut. Yang lucu, si anak dermawan yang urutan absennya paling depan justru dikhitan paling belakang karena takut, melihat teman sebaya banyak yang nangis kejer.

Alhamdulillah acara berjalan lancar, semua anak akhirnya selesai dikhitan. Sambil istirahat, si dermawan sempat bercanda pada kami.

“ Ngomong-ngomong ini masih ada yang single ga? Soalnya saya punya adik laki-laki masih bujangan, pengen dapet istri yang pake jilbab panjang kaya gini.” Kata bu Sari
“Wah…kebeneran nih bu, dua temen saya masih single. Boleh tuh…kali aja jodoh.” Jawab Aisyah cepat, sambil mesem-mesem melirik kea rah saya dan May.

“ Minta nomor HP nya dong, nanti saya kasih ke adik saya. Biar kenalan gitu. Adik saya lulusan S-1 UNPAD, anaknya baik loh…” jelasnya sambil sedikit promosi.
Saya yang mendengar cuma cengar-cengir tidak serius menanggapi. Justru Aisyah yang semangat 45, memberikan secarik kartu nama yang agak lecek.

“Ini saja bu, ada nomor HP nya di situ. Semoga jodoh ya bu. Kalaupun bukan jodoh ya, nanti satu saat ibu butuh bantuan tenaga, kami siap bantu bu.” Balas Aisyah.
Tersadar bahwa itu ternyata kartu nama saya. Agak sewot juga melihat teman saya kok semangat sekali. Mencoba berbaik sangka, dan tidak ambil pusing masalah niat perjodohan itu. Ah…paling juga si ibu tidak serius menjodohkan adiknya.

Perkenalan
Seminggu setelah acara khitanan masal itu, bu Sari menelpon ke rumah. Mengabarkan bahwa nomor HP saya sudah disampaikan ke adiknya. Kabar tersebut tidak saya tanggapai dengan serius. Namanya juga orang mau kenalan. Toh belum tentu jodoh. Jadi santai sajalah.

Pulang kerja di sekitar UKI, saat saya akan menaiki bis jurusan Bogor yang sedang ngetem, HP saya berbunyi. Sebuah sms masuk.

“Assalamu’alaikum, nama saya Achmad adik dari ibu Sari di Bogor. Apa boleh saya telepon sekedar untuk berkenalan?”

Saya jawab sms itu

“Wa’alaikumsalam, boleh saja telepon. Tapi beberapa menit lagi setelah saya di dalam bis. Ini saya masih di jalan.”

Tetap berhuznudzon, memperluas silaturahim. Tidak punya niat apapun dalam menjawab telepon si Achmad ini. Benar saja, beberapa menit kemudian dia menelpon dan memperkenalkan dirinya.

Beberapa hari setelah Achmad telepon, bu Sari mengabarkan bahwa adiknya ingin bertemu secara langsung. Atas pertimbangan kakak, Murobbi, sayapun bertemu dengan Achmad yang tentunya ditemani oleh muhrim. Dia ditemani bu Sari dan anak-anaknya, saya ditemani Mba Salwa.

Perkenalan singkat itu ternyata berlanjut pada pertemuan yang lain. Kali ini, bukan saya yang menemui Achmad, tapi kakak ipar saya (Afiq). Afiq yang menjelaskan bagaimana saya dari A sampai dengan Z. Penjelasannya lebih ke arah, gambaran negative tentang saya. Kekurangan saya sebagai seorang akhwat berjilbab. Tidak pandai masak, bahkan mendekati tomboy, full aktifitas, pekerja kantor yang sering tugas keluar kota, masih kuliah juga, dan penjelasan detail mengenai gambaran saya sehari-hari. Saya selalu tampak jutek jika saat bertemu, maksud hati agar si Achmad tidak melanjutkan niatnya (dalam hati saya).

Membalas kunjungan Achmad, kami diminta oleh pihak keluarga untuk datang kerumahnya. Kedatangan kami yang tidak sesuai jadwal menyebabkan beberapa pihak dari keluarga tampak tidak suka. Termasuk bu Sari, yang biasanya sangat ramah, kali ini tidak menunjukkan hal tersebut. Saat bersalaman saja saya sempat canggung, mau cupika cipiki atau, tapi dengan melengos (pahit….). Karena dari sikap dan bahasa tubuhnya menunjukkan kurang simpatik. Rasanya seperti duduk diatas bara api.

Keluarganya lengkap berkumpul, membicarakan tentang rencana pernikahan. Saya tidak bicara sedikitpun, bingung. Apalagi semua anggota kelaurganya cukup vocal. Suasana hingar bingar, sampai kepala saya mendadak pusing, dada mulai sesak, seperti mau pingsan. Barulah menyadari, bahwa keluarga ini sangat care dengan urusan adik bungsunya (si Achmad ini), bahkan bisa dibilang anak kesayangan dari keluarga ini. Jadi wajar saja, bila harapan dari pihak kelaurganya pun sangat besar agar perjodohan ini berhasil.

Intinya mereka tetap berharap agar segera ditetapkan perkiraan pernikahan. Sementara saya masih berkelit akan menyelesaikan kuliah S-2 yang sudah dalam tahapan menyusun Thesis. Hal yang agak menyebalkan adalah, si Achmad tidak bicara sepatah katapun, mengenai keinginannya, harapannya, atau apapun yang ada di benaknya. Membuat saya semakin tidak yakin padanya. Bagaimana mungkin, dia tidak ada bicara sedikitpun. Padahal ini masalah masa depannya, mungkin dia tipe anak mami, yang tinggal tau urusan beres, sementara orang lain yang sibuk. Pfffh… satu lagi minus si Achmad, semakin memperkuat keputusan untuk mundur.

Maju mundur
Kabar tentang Achmad pun sampai ke Bunda yang sedang bertugas sebagai perawat di Jeddah. Mulailah saya menjelaskan perkenalan saya dengan Achmad, dan perkembangan pertemanan tersebut. Saya jelaskan juga asalnya dari Palembang, kondisi keluarganya, dan lain-lain yang saya tau dari Afiq.

Entah atas dasar apa, akhirnya bunda menolak untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, mungkin karena banyak berita miring di media massa seputar orang asli sana. Sayapun yang dari awalnya tidak menganggap perkenalan ini serius, menyetujui akan keputusan bunda. Akhirnya bunda memutuskan akan menelpon Achmad, untuk tidak melanjutkan dengan cara baik-baik. Karena khawatir jika saya yang bicara, akan menyakitkan dan kurang santun. Merasa persoalan sudah selesai, saya plong. Alhamdulillah…masalah selesai.

Allah Maha membolak balikkan hati, alih-alih masalah selesai atau case closed justru bunda tertarik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sementara, sedikitpun saya tidak berharap berjodoh dengannya. Apalagi, saya lebih mengharapkan berjodoh dengan seorang ikhwan yang mengerti aktifitas dakwah dan sejalan dengan pemikiran saya, bisa mengingatkan diri ini saat iman sedang turun, bisa terus menyemangati agar beribadah lebih baik lagi. Bukan dengan orang yang belum tarbiyah, belum mengenal aktifitas dakwah walaupun memang hal itu tidak menjamin. Bahwa orang yang tidak tarbiyah adalah belum tentu tidak baik, mungkin saja dia hanif yang minus tarbiyah saja.

Kekhawatiran saya cukup tinggi akan keberhasilan perjodohan ini. Usaha kakak, teman-teman dan Murobipun tampaknya tidak berhasil untuk menggagalkan perjodohan ini. Apalagi hasil istikhoroh tidak meyakinkan saya untuk melanjutkan, atau saya yang sudah cenderung menolak. Sehingga hati ini seperti tertutup dari petunjuk.
Beberapa kali saya mencoba menjelaskan, tentang keputusan untuk tidak melanjutkan perjodohan ini kepada Achmad. Bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan keinginan, baik itu sikap, kondisi keluarga, kondisi perkuliahan, atau hal lain, yang membuat saya mundur teratur. Apalagi tentang tidak mantapnya hati untuk lanjut.

Berkali-kali juga mencoba jelaskan pada Bunda, bahwa saya tidak ingin melanjutkan perjodohan ini. Tapi bunda terlalu khawatir jika saya menolak perjodohan ini, maka ke depan akan susah menikah nantinya. Alasan yang klise, karena saya tak punya pacar, kawan dekat lain jenispun tidak ada. Apalagi saya sudah dilangkah adik lelaki, kata Bunda ‘perempuan yang dilangkah adik laki susah jodohnya’. Bunda sangat khawatir jika saya terlalu asik dalam kegiatan keseharian saat ini, maka akan lupa untuk menikah.

Bunda tau kegalauan hati saya, menjelang Ramadhan 2004 beliau pulang ke Indonesia. Khusus untuk mengurus perjodohan saya. Bahkan kepulangannya dirahasiakan pada kami anak-anaknya. Justru Bunda pulang minta dijemput oleh Achmad dan keluarganya. Hal aneh yang pernah ada, dan membuat saya sempat bersitegang dengan Achmad.

Entah apa yang menyebabkan Bunda begitu bersemangat menjodohkan saya dengan Achmad. Apa karena usia saya yang kepala 3, atau hatinya sudah kepincut akan kesopan santunan tutur kata Achmad dan keluarganya. Atau Allah SWT sudah memberi petunjuk pada Bunda. Wallahu ‘alam.

Beberapa hari setelah kedatangan Bunda, keluarga Achmad datang menemui bunda. Kebetulan ayah sedang bertugas juga di Jeddah, dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Intinya mereka mengkhitbah saya, dan meminta kepastian kapan akan dilangsungkan pernikahan. Saya kalut, bingung harus bagaimana. Hati kecil saya tidak menginginkan perjodohan ini, sementara Bunda sangat bersemangat dan berharap bahwa perjodohan ini akan berlanjut.

Satu-satunya anak yang belum menikah di keluarga ini, juga satu-satunya anak yang harus menuruti jodoh pilihan Bunda. Dari sekian anak, tak satupun yang pasangannya sesuai dengan pilihan Bunda, dengan kata lain, saya harus mengobati kekecewaan bunda atas sikap saudara-saudara yang lain.

Bunda tampak bersemangat dengan perjodohan ini, melihat kegembiraan dimatanya tak tega rasanya untuk menolak, akhirnya saya mengajukan beberapa syarat. Pertama saya ingin menjalani Ramadhan ini dengan baik, tidak diganggu masalah perjodohan. Nanti setelah syawal baru dibicarakan lagi. Kedua jika nantinya memang akan menikah, harus hidup mandiri, tidak mau tinggal bersama orangtua. Ketiga masalah rumah tangga tidak ada yang boleh mencampuri termasuk pihak kedua keluarga besar. Persyaratan sayapun disepakati. Melihat sikap saya yang menerima perjodohan ini akhirnya Bunda kembali ke Jeddah karena izinnya cutinya telah habis.

Ramadhan kali ini, saya sangat menikmati malam-malam panjangnya. Sekian malam saya habiskan dengan mengadu pada Allah, memohon petunjuk diberikan jalan terbaik. Berdoa dengan penuh kepasrahan, dan mencoba untuk Ikhlas apapun keputusan-Nya. Sepuluh hari terakhir betul-betul digunakan full untuk memohon kepada-Nya, beri’tikaf di masjid Al Hikmah jalan Bangka. Bertemu dengan teman yang bisa jadi tempat berbagi. Bertemu dengan para ustadz dan ustadzah yang mendamaikan dan menenangkan hati. Ingin Ramadhan kali ini tiada berakhir.

Jika ini memang jodohnya, semoga ini adalah jalan saya mencari ridho orangtua, yang berarti ridho Allah juga. Berharap buah dari keridhoan ini adalah keberkahan pada rumah tangga kami pada akhirnya. Sampai kering rasanya air mata ini. Mata sembab selalu saya bawa bahkan sampai ke kantor, tentunya teman kantor tidak ada yang tau masalah ini. Berusaha bersikap senormal mungkin menyikapi kondisi hati yang berkecamuk. Tersadar bahwa ternyata saya belum bisa ikhlas sepenuh hati menerima ketentuan dari-Nya, jika perjodohan ini berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.
Pernikahan

Syawal hampir berakhir, Bunda terus mendesak agar pernikahan dilangsungkan tetap pada bulan syawal, tidak bisa ditawar lagi apalagi ditunda sampai selesai kuliah S-2. Seminggu sebelum pernikahan, masih juga belum menginformasikan kapan hari pernikahan kami kepada pihak kantor tempat bekerja. Kurang 3 hari, barulah saya menyebarkan undangan.

Perencanaan acara pernikahan, penyewaan tenda, baju pengantin dan lain sebagainya semua diurusi oleh mba Salwa. Saya hanya pasang badan. Beberapa kali saya berkomentar,’jika tidak ada yang membantu mengurus pernikahan ini, lebih baik tidak jadi saja. Pokoknya saya hanya pasang badan saja mau diapakan pasrah’ agak mengancam memang kedengarannya. Tapi saat itu merasa bahwa saya hanyalah raga yang tidak berjiwa, tidak merasakan kebahagiaan pada umumnya orang yang akan menikah. Masih mencoba berfikir, dan berandai-andai. Seandainya saja bisa menghilang, dan melarikan diri dari pernikahan ini alangkah bahagianya saya. Syeitanpun mulai bermain di sini, menjadikan saya semakin ragu untuk melangsungkan pernikahan ini.

Sehari sebelum menikah, menyempatkan diri hadir dalam lingkaran kecil kami. Walaupun sempat dilarang mba Salwa, takut saya nekat melarikan diri mungkin. Berada di dalam lingkaran kecil ini membuat saya merasa damai. Pelukan hangat dari saudara seiman, menjadikan diri ini lebih tegar untuk menghadapi hari pernikahan esok. Ummi Arif, Ibu Yeni, mencoba meyakinkan bahwa ini adalah yang terbaik menurut versi Allah, jalan menuju keridhoan-Nya, mencari berkah dari ridho orangtua.

Beberapa teman membantu persiapan acara sampai dini hari. Tetap berusaha ceria, bercanda dengan teman walaupun hati saya tidak jelas bagaimana rasanya. Ingin menangis mungkin. Tapi tidak ada gunanya, hanya menambah kekhawatiran orang di sekitar. Pernikahan sudah didepan mata, tidak bisa mundur.

Tibalah saatnya saya dirias layaknya seorang calon mempelai wanita. Sedikitpun saya tidak protes, tidak komentar ini atau itu. Seperti statement yang lalu, hanya pasang badan. Mau dicoreng moreng juga saya tidak perduli. Merasa seperti patung saja. Bercerminpun tidak saya lakukan, sekedar melihat penampilan setelah dimake over seperti apa.

Akad pun dilakukan dengan wali jarak jauh, Ayah saya yang sedang berada di Jeddah menelpon bapak penghulu. Akad pun berlangsung dengan khidmat. Tetap saja tidak ada rasa apapun di hati ini. Astaghfirullah…, astaghfirullahal adziim, ada apa dengan hati ini. Ingin menangis tapi air mata ini seperti mengering. Tidak ada senyum sedikitpun di bibir saya.

Satu persatu yang hadir menyalami kami. Tetap tidak bisa tersenyum. Bahkan saya hampir menangis, jika tidak melihat kode gelengan kepala Mba Salwa melarang menangis. Tibalah saudara dalam lingkaran kecil datang, saat bersalaman dengan Ummi Arif, dengan Ibu Yeni. Pecahlah tangisan, dalam pelukan mereka saya lepaskan semua beban di dada. Mungkin yang hadir aneh melihat mempelai wanita menangis sedih seperti itu. Melihat tangisan saya, beberapa temanpun ikut merasakan kesedihan yang saya rasakan. Achmad yang sekarang menyandang gelar suamipun tampak agak bingung.

Allah berikan jodoh yang terbaik
Alhamdulillah….tak terasa, usia pernikahan ini berjalan 6 tahun. Jika ingat bagaimana awalnya pertemuan dulu, sangat aneh mungkin jika bisa bertahan selama ini. Tidak dengan proses pacaran seperti orang kebanyakan, justru kami saling mengenal setelah menikah. Walaupun awalnya saya harus berjibaku untuk beradabtasi dengan suami dan keluarga besarnya yang sangat berbeda adat istiadatnya, Alhamdulillah saya bisa menjalani semuanya.

Membentuk sebuah keluarga, tentunya keinginan semua orang. Di benak saya, semua yang indah – indah terlukis. Berharap mendapatkan suami yang romatis, karena saya sendiri orangnya agak kaku. Berharap yang punya hoby sama; traveling, naik gunung, baca buku. Tujuannya agar saat ngobrol bisa nyambung. Berharap dia lebih macho karena saya dulunya tomboy, lebih tau banyak hal, dibanding saya, dan begitu banyak harapan lainnya.

Allah berikan saya, seorang pria yang jauh….dari romatis, penyabar, lurus, serius, jarang bercanda, bahkan seringkali tidak sadar kalau sedang dijadikan bahan candaan oleh saya dan ponakan. Tidak hoby naik gunung atau olahraga resiko tinggi. Tutur katanya sangat halus dan santun terhadap semua (sssst…bocoran, hati bunda kepincut karena sikapnya yang satu ini), sikapnya Lebih lembut dari saya, lebih sabar juga dari saya. Masalah tarbiyah yang saya takutkan terjawab. Walaupun dia belum ikut tarbiyah, ibadah hariannya sangat konsisten. Bahkan saya sering malu sendiri jika terkadang muncul rasa malas. Indahnya tarbiyah ia rasakan tak lama setelah kami menikah.

Melihat semua hal yang ada pada dirinya, hati ini semakin yakin inilah jodoh terbaik yang Allah berikan untuk saya. Allah memberikan apa saya butuhkan, bukan apa saya inginkan. Tersadar bahwa ini adalah berkah yang saya dapat, karena mencari ridho orang tua (terutama bunda). Mengingat tidak ada aral melintang dan permasalahan yang cukup besar selama berumah tangga sekian tahun. Semoga cinta yang Allah tumbuhkan pada kami berdua kekal sampai hari di mana kami dipertemukan kembali di Jannah-Nya.

Mengharap Restu Bunda

“Loh, pak ini angkot mau kemana? Kok arahnya ke sini?” Tanya saya saat melihat angkot yang saya tumpangi berbelok ke arah yang tidak seharusnya. Biasanya dari Sukasari, angkot seharusnya bergerak lurus ke arah Tajur. Dari Ciawi kemudian melanjutkan naik angkot ke arah Cibedug. Tapi kali ini angkot berputar ke arah Batu Tulis, kemudian melewati kuburan China, dan keluar di daerah Rancamaya. Arahnya jauh melenceng dari tujuan semula.

“Arah ke Ciawi macet banget, neng. Angkot juga lagi demo. Karena ada rencana trayek baru.” Jawab sang supir.

“Neng turun di sini trus nyebrang, nanti nyambung naik angkot turun di Truba naik ojeg ke Cibedug. Atau naik bis yang arah ke Sukabumi. Angkot agak jarang, karena kalo narik bisa ditimpukin sama yang demo.” Tambah sang supir.

Akhirnya dengan terpaksa saya turun, bingung mau melanjutkan perjalanan naik apa. Janji datang jam 10 sudah lewat satu jam. Duh…, pastinya Ummi sudah menunggu saya. Alhamdulillah ada bis kea rah Sukabumi lewat. Sayapun naik. Sekarang berjaga agar bisa turun di Truba (masalah baru, karena saya tidak tau truba itu di mana). Bertanya sama kondektur bis, diapun tidak tau di mana Truba. Duh…., kok jadi repot begini.

Tidak menyerah, sayapun mencoba sms ke teman yang kebetulan rumahnya di Cigombong, menunggu lama tak juga dijawab. Tak juga putus asa, saya kirim sekaligus sms ke beberapa teman. Saat saya menunggu balasan sms, HP berdering.

“Assalamu’alaikum, Lis, sekarang sudah di mana kok belum sampe juga? Sudah ditunggu sedari tadi, segera ke sini ya…, jangan mampir-mampir dulu” Suara Ummi di sana

“Wa’alaikumsalam, Ummi…., Lis masih di jalan nih…, angkot lagi demo. Bentar lagi mungkin sampai.” Jawab saya, sambil sesekali melihat ke sisi jalan mencari tanda atau plang nama Truba. Perjalanan jadi tidak menyenangkan hari ini. Belum sempat menerima balasan sms dari teman-teman, HP saya Low batt. Astaghfirullah….., lengkap sudah.

Beberapa penumpang coba saya Tanya, tentang alamat truba. Berharap ada yang tau. Nihil, tak seorangpun yang tau di mana itu Truba. Tiba-tiba saja saya teringat rumah teman di Cigombong, akhirnya saya turun tak jauh dari rumahnya. Silaturahim sebentar dan bertanya tentang rute tercepat ke Cibedug. Nyasarnya cukup jauh. Pffffh… lelahnya, belum makan pula.

Kembali naik Bis kali ini kea rah Jakarta, turun di Truba (Alhamdulillah sudah mendapat info yang jelas dari teman). Naik ojeg, dengan harga yang fantastis menuju Cibedug. Aji mumpung si tukang ojek saat angkot demo.

Sampai di Rumah Ummi Arif, sudah jam setengah satu siang. Waktunya ngaji pekanan. Beberapa teman sudah hadir di lingkaran kecil kami.

“Dari mana aja, kok baru datang? Udah ditungguin tuh… sama Ummi. Eh…ngomong-ngomong selamat ya….” Seorang teman menyalami saya sambil mesem-mesem ga jelas
“Orang nyasar sampe Cigombong kok dikasih selamat. Gimana sih.” Sanggah saya. Setelah bersalaman sambil cupika cupiki, dengan semua teman dalam lingkaran, Ummi bicara.

“Lis, cepetan ke depan…, kerjain isian yang di papan tulis ya… kalau sudah selesai baru ke sini. Yang lain sudah mengerjakan tugas itu.” Kata Ummi.
“Baik Mi, tapi saya Sholat dulu ya…, tadi nyasar-nyasar ada demo angkot. Jadi belum sempet Dhuhur.” Jawab saya, sambil melenggang menuju tempat wudhu. Sementara beberapa teman memandang saya sambil senyam senyum aneh.

Selesai sholat, saya berjalan ke ruang depan. Ruangan kosong lainnya di rumah Ummi yang biasa di jadikan ruang pertemuan untuk syuro. Ruang kecil berukuran tiga kali tiga meter berlantai keramik putih tanpa karpet, yang dilengkapi white board besar di dindingnya. Saya pun duduk di depan papan tulis, mencoba menjawab quesioner. Sesekali terdengar ada suara pembicaraan antara Abi (suami Ummi Arif) dengan seorang tamu.

Saat saya sedang mengerjakan tugas, lewatlah seorang ikhwan (tamu Abi). Tapi saya yang sedang serius mengerjakan tugas tidak begitu memperhatikan siapa yang lewat. Hanya kelebat bayangan orang saja yang terlihat. Selesai mengerjakan tugas sayapun kembali dalam lingkaran. Kali ini Aisyah (teman ngaji saya) tambah lebar nyengirnya.

“Gimana tadi?” tanyanya penuh selidik. Sambil mengedipkan matanya.
“Gimana apanya? Udah selesai nih ngerjain tugasnya.” Jawab saya polos sambil menyerahkan selembar kertas kepada Ummi.

“Ih… bukan itu…” Sanggah Aisyah, wajahnya tampak tidak puas dengan penjelasan saya.
“Apanya? Kan sama-sama ngerjain isian yang di papan tulis.Memangnya ada yang lain?”Tanya saya bingung.Ummi Arif pun menengahi
“Sudah…sudah…, kita lanjutkan saja ngajinya ya…” pertanyaan sayapun menggantung dan tidak dilanjutkan.

---------
Ba’da maghrib di rumah, HP saya berbunyi. Dari Ummi Arif. Saya angkat sambil berjalan ke halaman rumah, karena di dalam kamar signalnya putus-putus.

“Assalamu’alaikum Mi, ada kabar apa mi? Kok pake telepon segala, kan tadi juga dari rumah Ummi? Ada yang kelupaan ya…?” Tanya saya

“Wa’alaikumsalam Lis. Tadi ngerti ga kenapa disuruh datang lebih awal, dari teman-teman?” pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan. Waduh… kok aneh nih.

“Wah…, saya ngga ngerti Mi, kalau sekedar mengerjakan tugas di papan tulis tadi, kalau sekedar mengerjakan tugas tadi sih, seharusnya bisa aja barengan dengan yang lain. Toh teman-teman juga ngerjainnya sama-sama. Alasan lain saya ga tau, memangnya ada apa sih Mi?” Jawaban sekaligus pertanyaan baru dari saya

“Lis, tadi pas ngerjain tugas di depan liat ada orang yang ngobrol sama Abi ga?” Tanya ummi lagi. Tetap pertanyaan dijawab dengan pertanyaan baru lagi.
Waduh… makin bingung saya, sepertinya Ummi ada yang mau disampaikan tapi kok ya muter-muter seperti ini.

“Tadi sih denger Mi, kayanya ada orang yang ngobrol sama Abi di ruang tamu. Cuma saya ngga tau siapa.” Jawab saya jujur

“Jadi tadi Lis, engga lihat wajah orang yang lewat itu?” Tanya Ummi lagi.

“Ih…Ummi gimana nih…, katanya ke depan disuruh ngerjain tugas. Ya… saya Cuma kerjakan tugas aja. Memang sih..ada Ikhwan lewat gitu. Cuma saya ga lihat mukanya. Kan lagi serius ngerjain Quiesioner dari Ummi. Beneran ga liat mukanya, memangnya ada apa Mi?” Jawab saya, yang tambah bingung. Perasan mulai agak tidak nyaman nih.

“Gini deh, to the point aja. Tadi Itu, Ikhwan yang mau dikenalin sama Lis. Biodata Lis sudah ada di Ikhwannya. Nah…tadinya Ummi mau kasih biodata itu Ikhwan, tapi Abi lupa kasih ke Ummi. Di email saja ya.” kata ummi menjelaskan.

Deg…. Jantung serasa berhenti berdetak. Ya Allah…, ternyata itu yang membuat teman ngaji senyam senyum plus mengucapkan selamat.

“Oh … begitu….. boleh deh Mi, dikirim via email saja. Berhubung dua pekan yang akan datang baru bisa hadir lagi ke tempat Ummi, karena pekan depan mau ke Jawa Timur sama Bunda.”Jawab saya

Singkat cerita, Biodata Ikhwan tersebut tidak kunjung sampai juga. Entah alamat email yang salah spelling atau apalah saya tidak mengerti. Beberapa hari kemudian Ummi dan Abi silaturahim ke rumah, bertemu dengan Bunda. Karena mumpung Bunda ada di Indonesia, sekaligus pendekatan untuk rencana ta’aruf nanti.

Setelah menerima kunjungan Ummi & Abi, Bunda curiga, dan mencoba menebak-nebak ada apa dibalik kunjungan tersebut. Saya tetap belum mau menjelaskan, karena biodata ikhwan belum ditangan. Sementara teman ngaji sudah mulai kasak kusuk mengadakan pendekatan kepada Bunda (kebetulan teman ngaji sangat dekat dengan keluarga). Sampai pada satu saat, isu itu terdengar dan terbaca oleh ibunda yang agak anti dengan kegiatan pengajian saya.

“Kamu itu bagaimana sih Nduk? Lah wong ketemu sama orangnya saja belum, kenal saja belum, kerja dimana, anaknya siapa, bagaimana akhlaknya, lah kok mau dijodohin sama kamu terus kamunya mau saja piye toh?” Bunda mengungkapkan kekesalannya.

Saya berusaha menjelaskan, tahapan Ta’aruf itu seperti apa kepada bunda, tapi sepertinya bunda tidak mudah mengerti begitu saja.

“Tinggal kamu anakku yang belum menikah, pokoknya kamu harus nurut apa kata bunda. Wis… toh, jodohmu biar bunda yang cari. Ga percoyo aku sama jodoh dari temen ngaji mu itu. Ndang lihat kakak-kakakmu, hidupnya susah semua. Cuma satu orang saja yang bisa hidup senang. Lainnya apa…, susah semua. Aku ndak mau koe koyo ngono nduk.” Tambah Bunda lagi.

Semakin sulit rasanya saya bersikeras melanjutkan proses ta’aruf. Bingung harus bagaimana menjelaskan ke Ummi dan pihak Ikhwan.

Ya…Robbi, hamba mohon petunjuk-Mu, jika memang ini bukan jodoh hamba. Ikhlaskan hati ini untuk menerima keputusan bunda untuk tidak melanjutkan ta’aruf ini.

Beliau tidak setuju saya dijodohkan, dengan orang yang belum dikenal dengan baik. Bagaimana mau mengadakan pendekatan ke orang tua, biodata si Ikhwan saja tidak tau. Apa yang harus saya sampaikan benar-benar tidak ada bahan. Yang ada saya jadi bulan-bulanan dicomplain bunda. Menurut sumber yang dipercaya, si Ikhwan sudah berharap banyak pada saya. Ikhwan tersebut sudah mantap hatinya, hasil istikharah sekian lama.

Beberapa kali Ummi juga tetap mencoba untuk melaksanakan ta’aruf, dan melakukan pendekatan pada bunda, tapi Allah berkehendak lain. Terbukti dari nyasarnya saya hari itu, tidak melihat wajah si ikhwan, biodata yang tidak kunjung datang ke alamat email saya, sampai dengan sikap bunda yang tidak setuju 100%. Duh…., dengan berat hati mencoba menjelaskan tentang sikap bunda ke Ummi. Berharap semoga Ikhwannya mengerti dan memaafkan saya. Yakin, saja. Mungkin ini belum jodoh dari-Nya. Yakin saja, bahwa si Ikhwan nantinya akan mendapatkan akhwat yang lebih baik dari saya, begitupun sebaliknya.

Rabu, 28 Juli 2010

Anniversary

Tak terasa, usia pernikahan ini sudah berjalan selama 5 tahun. Jika ingat bagaimana awalnya pertemuan kita, sangat aneh mungkin. Tidak dengan proses Pacaran seperti orang kebanyakan.

Allah telah pilihkan seorang pria dengan segudang kesabaran, untuk menjadi suami dan ayah anak-anak saya.

Memang benar, menyatukan dua kepala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kami dari keluarga yang sangat berbeda. Baik budaya, adat kebiasaan, dan masih banyak lagi perbedaan diantara kami.

Membentuk sebuah keluarga, tentunya keinginan semua orang. Begitupula saya.
Dibenak saya, semua yang indah – indah terlukis.

Berharap mendapatkan suami yang romatis, karena saya sendiri orangnya agak kaku.
Berharap yang punya hoby sama ; traveling, naik gunung, baca buku. Biar kalo ngomong nyambung.

Berharap dia lebih macho, lebih tau banyak hal, dibanding saya yg agak kuper.
Allah berikan saya:

Seorang laki-laki yang jauh….dari romatis. He is just ordinary people, lurus, serius, bahkan seringkali ga ngeh kalau sedang digosipin sama ponakan & istrinya (maaf ya honey…..)

Tidak hoby naik gunung, sekali-kali pengen ngajak naik gunung beneran euy….(nostalgia waktu kuliah)

Tutur katanya sangat halus dan santun terhadap semua (bocoran, hati mama kepincut karena sikapnya yang satu ini), sikapnya Lebih lembut dari saya, Lebih sabar dari saya, lebih gampang tidur….(ini sih ga masuk itungan ya….)

Tapi saya yakin, inilah yang terbaik yang Allah berikan untuk saya.

Persamaan antara kami berdua adalah:

Kami tidak terbiasa ngurus rumah (beberes) alias sama-sama “pemalas”, saya lumayan terkaget-kaget harus mengerjakan semua kerjaan rumah sesaat setelah menikah.

Bisa stressss….berat menghadapi kerjaan rumah yang menggunung. Saya lebih memilih kerja di kantor sampai pagi daripada disuruh melakukan kerjaan rumah. Apalagi didukung kulit saya yang super sensitif, jika terkena detergen, seluruh kulit telapak kaki mengelupas, kulit tangan juga, bahkan sampai lecet-lecet dan berdarah.

Kami sama-sama tidak pernah kerja rumahan (dari beres-beres rumah, nyuci, nyetrika, sampai masak) dari kecil sampai usia saat saya kerja. Bukan saya ngebos tapi banyak kakak yang merelakan adiknya ini main-main daripada beresin rumah or masak. Akhirnya…. Terbawa sampai sekarang.

Dibenak saya, lah…wong sudah cape kerja kantor, masih juga harus jadi “UPIK ABU” (hiks….) apa ga bisa istirahat dengan tenang sepulang kerja seharian.

Sama-sama hoby tidur….., (kalau ini saya agak kalah). Saya tidur panjang kalo pas libur aja. (ngeles), atau saat malamnya harus begadang menyelesaikan kerja, menulis, atau baca buku. Biasanya ba’da subuh, tidur….lagi. kaya lagunya mbah Alm. Mbah Surip ya, Bangun tidur….tidur lagi, bangun tidur…tidur lagi…., bangun tidur…………., tidur lagi. (nyanyi mode on).

Enaknya, suami ga pernah protes liat saya kaya gini, makasih honey…..(tapi saya sering protes kalo suami yang tidur, hehehe…curang ya…..)

Perbedaan kami:

Saya yang notabene cukup mandiri, hidup tidak ditunggui oleh orangtua. Hanya anak-anak (saya, 4 kakak dan 1 adik). Semua kami putuskan sendiri, baik buruk fikir sendiri, semuanya atas inisiatif masing-masing. Tidak seperti keluarga normal pada umumnya. Ada ayah, ibu yang selalu bisa dimintakan pedapatnya saat kita perlukan, yang setia memonitor setiap perkembangan anak-anaknya.
Tapi biarlah…., dengan begini Allah menjadikan kami lebih surfive. Tahan banting.

Suami dari keluarga yang cukup harmonis, selalu ada campur tangan pihak keluarga untuk setiap keputusan yang dibuat. Selalu menimbang baik buruk secara bersama. (indahnya….)

Saya tidak suka berkeliling Mall untuk check harga, atau belanja apalagi menawar harga. Berbeda dengan suami, yang jago banget nawar, dan hoby keliling Check harga. Kalo saya belanja, bisa di target waktu & brg yang dibeli. Tapi kalo suami yang belanja……jangan harap bisa secepat kilat melesat. Pastinya My hubby tengok kanan kiri, liat promo ini itu.

Kalo suami….hebatnya….ga cape keliling terussss… (jadi ingat waktu beli HP di Roxi, untuk menggantikan HP yang di curi org di Bis) saat itu kami mampir di toko pertama, harga sudah cocok, tp suami tidak puas karena penjual tidak mau turunkan harga.

Akhirnya saya diajak muter-muter, hampir 2 jam muter-muter, tidak bertemu dengan toko yang harganya dibawah toko pertama. Yasud…, kembalilah kami ke toko pertama. Emang belum rezekinya, toko tersebut sudah keburu tutup. Yah…nyesel banget kan. Saya langsung manyun, semanyun-manyunnya. 2,5 jam muter-muter di Roxi, pulang dengan tangan hampa.

Saya suka sekali baca buku, apapun bukunya. Dari yang lucu sampai yang serius. Seringkali sampai begadang untuk sekedar menamatkan buku yang sedang saya baca. Suami malah heran melihat saya seperti itu. (aneh kali ya….., sakaaw….baca buku).

Hal yang satu ini coba saya tularkan ke suami, (gak mempan kayanya), berkali-kali saya kompori tentang buku yang bagus, tidak juga tergiur tuh…..(wuaaaa…..gagal…, ga bisa jadi sales buku yang baik dong ya…). Mau tau alasannya?

Suami saya bilang :
1. Bukunya terlalu tebal,
2. Kayanya buku lain lebih menarik,
3. Mending baca sedikit tapi rutin, daripada tidak,
4…….zzzz (keburu pulessss deh dia, hihihi).

Baca majalah tarbawi aja yang tipiiiiiis, bisa ber hari-hari selesainya. (hebat…kan?)
Mungkin sangking mengkaji dan mendalami isi tulisannya kali ya….jadi agak lama selesainya (cieh….ngeles).

Bedanya , suami suka baca judulnya doang, and bawa-bawa buku penuhi tasnya, tapi saat ditanya dah selesai belum bacanya?
Dijawab dengan pasti, “BELUM !” (Pfffuih….., cape deh….)

Cinta di Ujung Sajadah

21 Maret 2009, 01:40 WIB
Selesai membaca buku Cinta di Ujung Sajadah

Kembali air mata ini dibuat berderai – derai. Entah mengapa setiap moment yang menyisipkan sosok ibu, selalu saja air mata ini tumpah tak terbendung. Kerinduan yang membuncah pada ibu (mama). Kerinduan yang sama saat saya meninggalkan sesaat kedua buah hati (karena tugas kantor dan dakwah). Pastinya mama disana merasakan apa yang saya rasakan, malah lebih dahsyat lagi kerinduan mama pada anak – anaknya. Kondisi yang memaksa beliau terpisah jarak yang cukup jauh dari anak –anak yang dicintanya, demi memperbaiki hari depan anak –anaknya kelak.

Tersadar, bahwa diri ini kurang bersyukur, masih punya mama, yang sangat mencintai anak – anaknya, salah satunya saya (air mata ini kembali menetes). Selama ini begitu sibuknya saya, sehingga teringkali lalai untuk sekedar memberi kabar pada mama, baik lewat telepon, atau sms. Padahal mama nun jauh disana, setiap saat berdoa untuk kebahagiaan anak – anaknya. Maafkan kami ma, yang sering menyusahkan mama.

Melankolis atau cengeng, atau apalah namanya, jika setiap mendengar lagu iwan fals tentang ibu, selalu saja mata saya berkaca – kaca seketika, bahkan bisa langsung menangis. Tak peduli di manapun tempatnya, di bis, di terminal, di warung makan, bahkan lampu merah perempatan jalan, saat pengamen menyanyikan lagu itu, ya….lagu ibu.. Bagaimana mungkin hati ini tidak pedih mendengar syair lagu nya.

….Ribuan kilo jarak yang kau tempuh,
Lewati rintangan demi aku anakmu,
Ibuku sayang, masih terus berjalan,
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan,
Tak mampu ku membalas
Ibu…

Saya baru merasakan sedikit derita seorang ibu. Bagaimana saat kepayahan mengandung, bagaimana saat melahirkan, dan melihat sang buah hati yang sedang sakit, bahkan jika anak sulit makan pun sang bunda pastinya bersedih hati. Pastinya mama juga merasakan hal yang sama. Beberapa jam tidak bertemu anak rasanya lama…..sekali. Bagaimana dengan mama yang bertahun – tahun tidak bertemu anak – anaknya. Pastinya rindu…..sekali.

Saat ini, kerinduan pada mama sedang meledak ledak. Ingin segera terbang ke sana menemui mama. Bersujud mencium kakinya, memeluknya, untuk tidak dilepaskan lagi. Ingin sekali bertemu dengan mama.

Ya…Allah ya rabb.
Pertemukan kami, ya rabb.
Izinkan kami bertemu mama…..,
hamba rindu sekali, jika mama sulit untuk pulang ke Indonesia,

mudahkan hamba untuk datang memenuhi panggilan- Mu agar bisa berkunjung ke tanah Suci.

ya….Allah, ya Rohman ya..Rohiim,
yang maha kaya, yang maha segala,

Berharap di suatu saat nanti, pastinya kami akan dipertemukan.
Jika tidak di sini, di dunia ini,mungkin Allah akan pertemukan kami di surga Nya.

Robbifirli, waliwalidaya Warhamhuma kama robbayani shogiro
Amin allahuma amin.

Berjibaku cari dana untuk Operasi Tumor mba susi.

(bagian 1)

Tidak bisa ditahan. Air mata ini terus mengalir. Saya kecewa, sedih, marah, dengan kondisi yang ada. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk mba susi. Orang yang begitu care sama saya, yang rela mengorbankan sekotak perhiasannya demi saya bisa melanjutkan sekolah, yang selalu ada saat saya susah, yang selalu memotivasi saya, saat ini dia sedang tergolek tak berdaya. Sedang menunggu uluran tangan saudaranya.

Saya tidak habis fikir dengan saudara saya yang lain yang notabene hidup
berkecukupan, yang pemasukan sebulan lebih dari 200 juta, yang hidupnya serba wah…. Tapi begitu mendengar saudaranya sedang kesulitan, langsung berakting seperti layaknya orang yang miskin, tidak punya apa-apa.
Sehingga berat sekali rasanya tangannya memberi. Sedih….sekali.

Andai saja saya punya dana berlebih saat ini, pastinya dana itu segera meluncur ke rekening mba susi. Sayangnya dana di tabungan saya hari ini (13 maret 2009) tinggal 200 ribu, menunggu gajian suami (tanggal 25). Mau pinjam ke kantor, harus melalui prosedur yang berbelit dan belum tentu dana itu akan keluar dalam waktu dekat alias waiting list. Saya jadi tambah hopeless, tambah deras air mata ini mengalir. Jalan satu – satunya adalah mengambil tabungan pendidikan ifa (di syariah mandiri).

Yah….hanya itu jalan satu – satunya walaupun jumlahnya masih jauh dari yang dibutuhkan mba susi. Minimal bisa mengurangi sedikit beban di pundak mba susi.

Ya Allah….., tolong kami…..

(Friday, March 13, 2009)jam 11:59 siang.

-------------

(bagian 2)

Belum selesai juga rupanya, beban dipundak ini terasa berat. Rasanya sampai ke kepala, alias jadi pusing tujuh keliling. Semua orang ga mau bantu. Si kaya tak ada kabarnya, malah terakhir saya dengar beliau malah tersinggung atau apalah namanya.
Saya tidak mengerti. Mengapa semua jadi serba rumit seperti ini.
Yang saya mengerti hanya sederhana, jika mau membantu, bantu saja.
Tidak pakai embel – embel apapun. Jika tidak bisa atau tidak mau membantu ya, bilang saja. Toh clear masalahnya. Kita jadi tidak berharap banyak atas bantuan yang tak kunjung datang.

Hari ini, rencana saya meleset. Buku bank syariah mandiri saya nyelip entah dimana. Sementara hanya dengan itu tabungan ifa bsa diambil. Kalau memang dilaporkan hilang, prosedurnya pastilah berbelit dan lebih panjang lagi. Saya bingung harus bagaimana. Teman yang saya harap bisa diajak sharing, tidak bisa memberikan solusi. Hhhehh jadi tambah pusing.

Sekarang hanya Allah saja lah penolong saya, dimana saat semua tidak dapat memberikan solusi. Sedih. Saya tidak bisa berbuat banyak. Niatnya meringankan beban orang lain, jadi malah terbebani sendiri. Semoga saja saya tetap bisa menjalankan ini semua dengan ikhlas, walaupun berat.

Jangan sampai mama tau, bahwa dana yang saya berikan ke mba susi, adalah dana pinjaman, yang sayapun pusing untuk menggantinya. Saya tidak ingin memberatkan orang tua lagi. Cukuplah kami yang susah, jangan lagi orang tua terkena imbasnya.

Gimana ya….?, ada alternative?
- pinjam bank (bunganya lumayan cukup besar),
- pinjam kantor (belum tau kapan bisa cair)
- jual perhiasan (saya hanya punya cincin kawin & kalung hadiah dari madam inza),
kalaupun itu dijual harganya tidak seberapa (hitung saja 1gram emas =200rb, jika
hanya 6gram = 1,2jt)
- ga punya yang lain yang bisa dijual.

Ya… Allah….,
Hamba bingung, harus bagaimana lagi.

(Friday, March 20, 2009)jam 13:30 siang.

Do’a Nadin untuk Umi

Tahun 2004 yang lalu, mba susi (kakak saya) pernah menderita depresi yang lumayan parah. Sering kali mba susi jatuh pingsan dengan tiba -tiba, atau otot mulutnya mendadak kaku, sampai – sampai tidak bias berkata – kata, bahkan pernah juga tangan kakinya kaku, tidak bisa digerakkan. Biasanya hal itu terjadi jika beban fikirannya terlalu berat untuk ditanggung sendiri.

Seperti biasanya, mama saya yang tinggal di Jeddah menelpon mba susi untuk menanyakan perihal ponakan kami tyas namanya (anak tertua dari kakak tertua kami) ribet ya? Intinya ibu saya menyalahkan mba susi atas laporan kami tentang polah tyas yang agak menghawatirkan. Isi pembicaraanya saya kurang tau pasti, yang jelas, mba susi mendadak diam seribu basa sehabis menerima telepon dari mama.

Saya coba menanyakan apa yang barusan mama bicarakan padanya, jawabannya hanya gelengan kepala yang saya dapatkan. Akhirnya saya melanjutkan aktifitas membaca yang sempat terhenti, karena saya berfikir, jika saatnya tiba pastinya mba susi akan membicarakan pada saya, karena selama ini kami berdua sering curhat masalah apapun.
Beberapa hari setelah kejadian itu, mba susi kelihatan sangat murung, saya belum juga diajaknya bicara tentang masalah yang sedang membuat hatinya galau.

Saya coba memaksanya, alhasil malah tangisnya tiba –tiba pecah. Kemudian jatuh terkulai dalam posisi duduk, saya mencoba mengangkatnya, sambil berteriak minta bantuan rus (suaminya). Setelah tubuh mba susi digotong ke kasur, bukannya berangsur membaik, malah makin parah. Kali ini mba susi mulai berteriak memanggil mama, sambil terus menangis. Saya makin bingung, bukan hanya saya, anak mba susi (nadin 6 tahun) juga ikut panic. Akhirnya kak rus (abinya nadin) menenangkan kami semua, sambil terus bertilawah. Alhamdulillah kondisi agak membaik. Kak rus tak lupa juga menyuruh nadin untuk ikut mendoakan uminya agar lekas sembuh.

“ nadin ayo doain umi biar cepet sembuh, doa apa aja yang nadin bisa.”

Mendengar omongan abinya nadin langsung ikut berdoa dengan sepenuh hati. Nadin bergeser lebih mendekat pada uminya, sambil mengangkat kedua tangannya, nadin pun memejamkan kedua matanya, mungkin supaya lebih khusyu,
dan nadinpun mulai berdoa

“Bissmillahirohmaanirohiim…,

Alhamdulillah (dalam hati, saya berkata), anak sekecil ini sudah bisa mendoakan uminya, moga Allah mendengarkan dan mengabulkan doanya.

Kemudian nadin melanjutkan lagi doanya

“Allahuma bariklanaa, fima rozaqtanaa waqina adzabannaar, amiin” selesai membaca doa nadin dengan tetap serius dan khusyu mengusap wajahnya.

waduh kok doa makan?

Kami semua yang mendengar doa nadin tanpa dikomando jadi tertawa, Saya mau ngakak tapi ditahan, ga enak ada yang sakit.

“Ya Allah… nadin, masa doain umi pake doa mau makan?” Tanya abinya. Yang ditanya tidak mengerti mengapa kami semua tertawa mendengar do’a nadin.

“ Memangnya ga boleh bi?”

“ Kata abi, doa apa aja yang nadin bisa, ya…, itu doa yang nadin bisa.” Jawabnya masih memasang wajah bingung.

“ Ya sudah, kalau begitu pakai bahasa nadin aja deh, doanya” jawab kak rus.
Mba susi yang sudah agak baikan juga ikut tersenyum mendengar do’a nadin, ternyata doanya ampuh juga, mba susi berangsur baikan.

Ya…Allah, dalam kesulitan masih diselipkan keculuan tingkah nadin. Moga uminya cepet sembuh kalo nadin selalu membuat suasana jadi ceria.

Cikarang 11 February 2009, Tulisan ini untuk mba susi,
“jangan stress ya mba, liat nadin pasti ilang deh mumetnya”.

Anak Cerdas ORTU Speechless

Sudah seminggu ini, saya tidak melihat Iffa melompat-lompat seperti biasanya. Usut punya usut, ternyata kakinya ada benjolan, sehingga jangankan lompat, berjalan saja Iffa tertatih. Tidak tega melihat kondisi Iffa yang lain dari biasanya, saya pergi ke rumah sakit terdekat.

Diagnosisnya , kakinya kena virus (entah virus apa). Yang jelas obat yang diberikan lumayan cukup banyak. Setiap saat pulang kerja selalu mengingatkan Iffa untuk minum obat. Malam itu, Iffa baru saja minum obat (diantaranya ada antibiotik). Selang beberapa menit, Iffa minta dibuatkan susu.

“ Ibu, kakak mau mimi susu.” Pinta Iffa pada saya. Sambil berbaring di kasur dengan memeluk guling kesayangannya.

“ Sebentar lagi ya kak, kan baru minum obat.” Jawab saya.

“Ibuuu….., kakak mau mimi.” Pintanya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras.

“ Sebentar lagi sayang.” Jawab saya mencoba menenangkan. Ternyata tidak digubris Iffa.

“Teteh…., ngomong dong sama Ibu. Kakak mau mimi susu.” Iffa mulai merajuk pada teh mira, yang juga sedang duduk menemani Iffa.

“ Kakak, kan ibu bilang nanti. Sebentar lagi.” Jawab the Mira.

“ Ih….teteh…., ngomong atuh…, sama ibu. Kakak mau mimi nih” pintanya lagi, sambil meunjuk saya. Kami bertiga sedang berada di kamar Iffa.

Saya hanya bisa geleng – geleng kepala. Gimana caranya menjelaskan ke Iffa. Bingung.

-----------

Besoknya saya mencoba ke dokter lain, karena kondisi benjolan dikaki Iffa yang semakin membesar. Alhamdulillah, benjolannya berhasil dibuang (baca: bedah kecil), walaupun meninggalkan trauma pada Iffa. Saat akan dibuang ebnjolan tersebut, saya pegang kedua tangan Iffa, dan mencoba menutup matanya supaya tidak melihat gunting, pinset, dkk. Tapi ternyata iffa protes, saat saya tutupi.

“ Ibu, yang benel dong, pegangin kakaknya. Kakak ga keliatan nih.” Protes Iffa sambil mencoba tetap melihat apa yang dilakukan dokter, disela tangisannya.

Duh….hati saya hancur, lihat tangisan Iffa. Tapi lucu juga dengar kata-katanya barusan. Penasaran tapi takut. Maafkan Ibu ya kak…

-----------------
Pulang dari rumah sakit ba’da ashar. Saatnya minum obat, saya mencoba bertanya pada Iffa. Karena sepanjang pulang dari dokter, Iffa tidur pulas baru bangun pas maghrib. Begitu terjaga, Iffa tidak mau makan, hanya susu yang dia mau. Sampai botol ketiga, saya penasaran.

“ Kakak lapar? Makan aja ya.” Bujuk saya

“ Kakak ga mau makan ibu, mimi susu aja.” Jawabnya

“ Jangan minum susu terus atuh, makan ya. Makan roti deh, apa biskuit. Biar perut kakak ada isinya.” Bujuk saya lagi. Berharap iffa mau salah satu yang saya tawarkan.

“ Ga mau ibu…., kakak mau mimi aja” jawabnya tak kalah tegasnya.

“ Dari tadi kakak minum susu terus, kapan minum obatnya.” Tanya saya pada Iffa, yang sedang asik menonton film Garuda Di dadaku.

Kemudian Iffa menjawab, dengan tanpa ekspresi dan mata tetap tertuju pada TV.
“ Kapan aja.” Jawabnya santai.

Saya nyengir bingung. Sambil mengacungkan jempol saya ke arah Iffa. Dalam hati maksudnya berkata ‘hebat….kakak bikin ibu bingung’, Eh….Iffa malah membalas mengacungkan telunjuknya. (kok jadi suit?)

Lalu saya membalikkan posisi acungan jempol menjadi terbalik ke arah bawah, maksdunya ‘ga OKE kalo ga mau minum obat’, Iffa malah membalas denganmengacungkan jempol ke arah atas.

“ Oke….bu.” katanya.

Gubraks….(skore 1-0 untuk Iffa).

----------
Saya kadang befikir, apa semua anak kecil susah disuruh tidur. Karena sayapun dulu begitu. Sekarang, setiap saya meminta Iffa untuk tidur selalu ada saja jawaban cerdas. Seperti kejadian siang ini.

“ kakak tidur dong…., udah jam 2 siang tuh. Kalo ga tidur siang nanti pusing loh.” Pinta saya. Sambil terus mengipasi Iffa (special request walaupun AC atau kipas angin menyala).

“ Ini kakak uda tidul.” Jawab Iffa yang sudah dalam posisi PW (tiduran sambl meluk guling), tapi matanya tetap bulat terbuka.

“ kalau tidur, matanya merem dong. Kaya gini nih.” Saya mencontohkan dengan mata terpejam. Berharap Iffa mengikuti saya.

“ ini kan kakak udah tidul, tuh….kan ga berdili, tapi tidulan dikasul. Kakak udah tidul ibu….” Iffa ngeles.

Bener sih, jawabnnya. Posisi Iffa dalam posisi tiduran. Tapi maksud saya tidur beneran.

----------
PS: Masih belajar supaya jadi ibu yang cerdas, karena anak sekarang sangat cerdas, kebanyakan salmon kali ya?:))

Kapok pasang poster

Jadwal pengajian pagi, alias mentor memenuhi MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) Agama Islam semester satu. Hari ini rasanya malas betul untuk tetap terjaga setelah semalaman begadang mengerjakan laporan praktikum Kimia Dasar. Inginnya segera menarik selimut dan melanjutkan mimpi. Alih alih tidur pulas saya harus bergegas mempersiapkan acara mentor karena kali ini kebagian menjadi tuan rumah.

Mecoba membersihkan kamar tidur, sesekali kejedut pinggir dipan & kaki meja. Maklum, nyapu sambil merem. Merasa agak pede kalau kamar bersih, lagi harum. baby cologne sengaja dicipratin ke penjuru ruangan. (ga modal banget ya). Yakin kamar bersih, kinclong, tak ada debu di meja sayapun menyiapkan panganan kecil untuk teman-teman yang nanti datang.

Sekitar jam tujuh, satu persatu teman mentor datang. Yang paling pagi justru mba Tri (kakak tingkat 2), jilbaber yang ditugaskan dosen Agama untuk membimbing kami mantor. Berbekal segudang kesabaran mba Tri menghadapi kami anak-anak nakal.

Perlu pembaca tau, tempat kos-kosan saya adalah sebuah rumah dengan tujuh kamar tidur (semua di isi anak kos) dengan tidak ditunggui sang pemilik kos. Kami bertujuh perempuan semua (pasti lah..). kamar saya terletak dibelakang berdekatan dengan 2 kamar tidur lainnya, mengelilingi kolam ikan, dan ruangan untuk sektrika. Sebelah kamar saya langsung kamar mandi. Jadi dengan mudah saya tidak perlu antri, atau sambil merem juga bisa ke kamar mandi.

Kamar tanpa AC tapi adem. Namanya juga di bogor, maklum atuh adem. Back to mentor….
Mentoringpun dimulai dengan membaca basmalah, tilawah Qur’an berkeliling. Saya sempet degdegan pas dapet jatah membaca Qur’an. Maklum…, sekedar baca sih bisa, tapi tajwidnya…ampuuuun…, banyak salah. Keringet dingin sampe ngucur saat disuruh ngaji. Tiba-tiba saja suara jadi menghilang. (sindrom mentoring)

Setelah tilawah, mulailah mba Tri mengisi materi. Saya terkantuk-kantuk mendengar suaranya yang halus, merdu, apalagi saat beliau tilawah. Hm…. Pengen tidur lagi rasanya. (dasar murid mentor bandel).

Entah sudah tertidur sepersekian menit, saya dikagetkan dengan pertanyaan mba tri.

“ Lis, itu poster siapa?” tunjuknya kea rah poster besar tepat di depan pintu kamar saya. Poster berukuran 1m x 1,5 m, gambar Axl Roses (vokalis dari grup music Gun’s and Roses).

Mendadak saat itu juga kantuk saya hilang.

“ Poster saya mba,” jawab saya gelagapan

“ Idolanya lis ya?” Tanya mba Tri lagi tetap dengan nada yang datar dan senyum di bibirnya.

“ Ya….gitu deh, seneng aja sama lagu-lagunya. Sama orangnya juga abis cakep sih, keren, macho.” Jawab saya polos, duh kok ya pede banget jawabnya kaya gitu. Keceplosan euy.

“ Oh…, jadi idolanya Lis si Axl Rose itu ya? apa lis juga tau Axl itu agamanya apa, kegiatan nya seperti apa, apa patut menjadi idola? mau tau ga sosok yang pantas dijadikan Idola. Cowok ini ga kalah keren loh sama si vokalis itu.” Sanggah mba Tri.

Saya jadi penasaran. Sebetulnys siapa sosok yang pantas dijadikan Idola, bahkan oleh jilbaber sekelas mba Tri. Fikiran saya mulai menebak-nebak siapa sosok itu.

“ Mba, siapa yang pantes kita idolakan?” Tanya saya dengan penasaran.

“ Beliau sosok yang sangat mulia, tampan pula, baik tutur katanya, akhlaknya adalah Qur’an berjalan. Beliau sangat mencintai Allah dan Allahpun sangat cinta padanya. Mendapat gelar Al Amin, Karena kejujurannya. Mencintai Orang miskin, dan hatinya sangatlah lembut. Pastinya Lis sudah tau siapa sosok yang patut dijadikan Idola. Ya dialah Rasulullah…” Demikian penjelasan mba Tri.

Membuat saya tersadar dan malu, bahwa tidak sepantasnya saya mengidolakan sosok vokalis yang seperti itu. Bahkan ini di bahas saat mentoring pula. Duh… malu…, rasanya merah kuning hijau di langit yang kelabu deh, wajah saya saat itu.

Sementara teman mentor yang lain cuma mesem- mesem aja. Dasar assshem, kenapa ga ada yang mengingatkan saya tentang poster itu. Coba ada yang mengingatkan untuk mencopot sebelum acara mentor dimulai, pastinya saya tidak mendapat 2 sks masalah Idola. Tapi biarlah…, mungkin ini sudah rencana Allah, agar saya tersadar dari hal yang salah, mengidolakan orang yang salah.

Terimakasih mba Tri, untuk tausiyah singkatnya. Poster itu akan saya copot dan simpan di kolong tempat tidur. Biar jadi temannya kecoa saja.

Rabu, 21 Juli 2010

Pencuri di Masjid

Palembang 23.59 WIB

Setelah delayed hampir tiga jam, akhirnya pesawat yang saya tumpangi berangkat juga ke kota Sriwijaya. Duduk diantara sesama penumpang pesawat jurusan Palembang, membuat saya rindu rumah, tepatnya rindu suasana rumah mami (ibu mertua) yang notabene wong kito galo.

Ada peristiwa yang memalukan terjadi.
Saat sholat maghrib tiba, saya bergegas ke mushola sementara di dalamnya sudah banyak pula yang siap –siap hendak sholat magrib. Karena pesawat delay sampai jam 18.55, saya lantas ikut barisan sholat maghrib. Setelah sholat maghrib, saya siap – siap untuk ke ruangan tunggu B3, tujuan Palembang.

Saya mencari kaus kaki yang seingat saya, diletakan di atas tas coklat. Karena tidak ketemu, lantas berusaha mencari di sekelilingnya. Kemudian tak lama melihat ada sepasang kaus kaki (bertengger di atas rak). Lantas saya ambil kaus kaki tersebut dan diamati sejenak, “ah…ini dia kaus kakiku,” merasa yakin bahwa kaus kaki itu adalah milik saya, karena warna, ukuran dan model yang sama.

Kembali saya duduk diruang tunggu, bersama dengan penumpang tujuan Pontianak dan Denpasar yang juga delayed. Badan yang sudah pegal, gerah, haus, dan lapar pula. Membuat diri ini malas untuk keluar dari ruang tunggu, sekedar mencari peganjal perut. Alhamdulillahnya ada snack & minuman dari pihak maskapai penerbangan yang akan kami tumpangi. Sempat juga mencium harumnya Hokben di bangku sebelah (hm…tambah laper aja nih perut, kok beliau ga nawarin saya ya…)

Jam 20.35 malam, akhirnya pesawat berangkat. Dalam pesawat saya tidak bisa tidur nyenyak, karena perut yang keroncongan, tidak mempan disumpal roti (maklum orang Indonesia asli). Saya berhayal, sampai di Palembang nanti enaknya makan tekwan yang hangat. Hm…yummy.

Alhamdulillah,…..Allah mendengar doa saya. (yang sedang lapar), pihak maskapai ternyata menyediakan makan malam “HOKBEN” kesampaian juga….akhirnya. Setelah makan, mata pun mulai ngantuk, mau baca buku sudah tidak mood (lagipula sedari tadi baca buku terus diruang tunggu). Merem sebentar…tau-tau sudah sampai.

Janjian dengan rekan kerja yang berangkat dari Pekanbaru (yang juga delay). Menurut perkiraan, saya harusnya sampai duluan di Palembang, tapi karena delay lumayan lama. Akhirnya merekalah yang lama menunggu saya dibandara.

Setengah sepuluh malam sampai di Palembang. (penasaran dengan jembatan Ampera) maklum baru pertama kali ke Palembang, agak norak sedikit.

Setelah say hello dengan penjemput & teman kerja kamipun meluncur ke Plaju, mess pertamina. Karena besok pagi harus presentasi ke Prabumulih. Sekitar 2 – 3 jam dari Plaju.

Bangunan tua (jaman belanda mungkin), jendelanya besar – besar, kamarnya luas, dengan furniture kayu jati asli. Ruangan depan ada sofa yang sudah agak kusam. Langit – langit kamar pun warnanya tak jauh beda, sama kusamnya. Kamar mandinya berukuran 4 meter x 3 meter, cukup luas.

Setelah melihat sekeliling, saya bersiap untuk sholat isya. Tas mulai dibongkar, mengeluarkan mukena, dan peralatan mandi. Saat membuka tas, saya terkejut menemukan sepasang kaus kaki .

Astaghfirullah…, baru tersadar, kaus kaki yang saya cari saat selesai sholat magrib di bandara Sukarno Hatta. Jadi kaus kaki yang saya pakai ini punya siapa?.....
Ya Allah…., ampuni hamba , yang benar – benar tidak sengaja mengambil kaus kaki yang bukan miliknya.

Moga si empunya kaus kaki, mengikhlaskan. Terbayang deh, wajah si pemilik kaus kaki. Pastinya dia mencari kaus kakinya, yang hilang. Di Masjid pula. Ada pencuri kaus kaki dalam masjid? Hal yang memalukan.

Kalaupun saya mau mengembalikan, harus saya kembalikan kemana, dan kepada siapa?
Benar – benar hari yang lengkap.

Unpleasant Journey

ON THE WAY TO DURI (SO ….TIRED)

Perjalanan tugas kali ini mengantar saya kembali ke duri-riau. Kota kecil di daerah penghasil minyak. Sesuai dengan keputusan bos besar, akhirnya saya harus berangkat untuk site visit dan sampling (mengambil contoh tanah yang tercemar minyak bumi).
Berat rasanya meninggalkan (lagi) kedua buah hati, untuk tugas luar kota. Tapi karena status sebagai pekerja (baca anak buah), mau tidak mau, suka atau tidak, harus berangkat juga. Lama-lama kerja di kantor ini seperti prajurit, yang harus “stand by” siap perang setiap saat dibutuhkan. Padahal masih banyak karyawan lain yang notabene lebih capable dan tidak digondeli buntut (baca anak) seperti saya. Entah apa pertimbangannya.

Perjalanan kali ini begitu banyak kendala yang harus dihadapi, semuanya diluar kendali dan kemampuan saya untuk mengontrolnya.

Petugas yang sedianya akan mengantar ke bandara sukarno hatta, mendadak diberikan tugas dadakan, dan tidak diketahui pasti kapan bisa kembali ke kantor dan mengantar kami (saya & dua orang teman) yang akan berangkat ke Duri. Alhamdulillah ada driver bos yang bisa mengantar kami.

Instrumen yang rencananya akan saya bawa, ternyata masih di teknisi. Tidak mungkin lagi menunggu alat sampai selesai baru saya berangkat. Akhirnya alat itu di tinggal, dan rencananya akan dibawa oleh kloter selanjutnya tgl 5 Des.

Jadwal berangkat molor satu jam dari rencana, karena urusan administrasi yang agak lambat. Di jalan kami kena macet yang ruarrr biasa, Stuck mulai masuk tol dalam kota (Halim sampai Slipi).

Sepanjang jalan menuju bandara, saya melihat langit gelap. Awan hitam yang menyelimuti kota membentuk ” twister” awan hitam membentuk gulungan yang menyambung dari langit sampai ke tanah, seperti akan terjadi badai tornado atau angin putting beliung (saya ngeri melihatnya) sayangnya tidak sempat saya abadikan dengan kamera. Dalam hati saya berdoa “ Ya Allah….selamatkan perjalanan kami.”

Dibandara, hampir saja alat yang saya bawa tidak bisa masuk. Dus yang memuat alat ternyata bekas bungkus chemical yang mudah terbakar. Jadilah alat tersebut dibongkar dibandara dan dipacking ulang, tempel stiker sana-sini untuk menutupi label “Hazardous material”. Begitu juga dengan dus berisi alat sampling yang dicurigai sebagai senjata . Padahal hanya “hand auger” untuk ngebor tanah. (Pffffuih… hampir saja alat itu tidak bisa kami bawa), belum lagi alat kerja team electric,bongkar dan packing ulang……

Alhamdulillah….akhirnya kami bisa mambawa semua alat masuk dalam bagasi “Special Handling”. Bisa bernafas lega.

Dalam pesawat, kekhawatiran saya muncul lagi. Tumben sang Pilot menjelaskan kondisi cuaca, lokasi posisi pesawat dengan detail kepada penumpang, terakhir sang piot mengingatkan untuk tetap dalam kursi masih-masing dengan sabuk pengaman terpasang.

Benar saja, tidak berapa lama pasawat yang kami tumpangi bergetar kencang. Berkali-kali. Hati saya mencelos. Laa….Haula….wala Quwata… saya benar-benar takut.

Teringat anak-anak dirumah. Seandainya kejadian terburuk menimpa saya.
Saat itu, hanya tawakal yang bisa dilakukan. Sepenuhnya hidup dan mati saya sepenuhnya diserahkan pada Allah, yakin Allah akan menjaga anak-anak dengan sebaik-baiknya penjagaan. Dimanapun saya berada. Dalam hati saya terus berdoa,
“ Ya…Allah …, ya...Karim…., lindungi kami dalam perjalanan ini. Selamatkan kami, ya …Allah”. Tak henti mulut ini berdzikir menyebut asma Allah.

Goncangan dalam pesawat akhirnya berkurang, semakin lama semakin berkurang, dan akhirnya goncangan itu hilang sama sekali.

“ Alhamdulillah…., terimakasih ya Allah….”. gumam saya. Teman yang duduk disebelah kanan sudah memejamkan matanya, entah tidur benar atau tidak.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam dua puluh menit, kami tiba di bandara Syarif Kasim 2 Pekanbaru. Dengan dijemput oleh seorang staff, kami menuju Duri. Sempat kami makan dulu, karena ‘anaconda’ diperut sudah minta jatah.

Hujan deras mengguyur jalan yang kami lalui. Rambu jalan tidak terlihat sama sekali, kalah oleh air hujan yang tumpah “Bresss”… berkali-kali mobil kehilangan kendali, dan menepi karena jalan tidak terlihat.

“ Pak, pakai lampu jauh aja, biar keliatan jalannya”. Usul saya

“ Kalau pakai lampu jauh, nanti mobil lawan kita silau”. Jawab pak R

“ Lebih bahaya lagi, kalau kita ngga lihat apa-apa pak”. Jawab saya

Setelah beberapa kali menepi, akhirnya pak R menggunakan lampu jauh. Kecepatan mobil saat itu hanya 10 – 20 km/jam. 3,5 jam kami menempuh perjalanan dari Pekanbaru ke Duri, biasanya normal 2 – 2,5 jam. Alhamdulillah…..setelah melewati jalan yang cukup melelahkan kami sampai di Duri (kantor cabang sekaligus mess karyawan).

Badan yang super capek, lengket, mata setengah watt, membuat saya tidak kuat untuk berlama-lama ngobrol dengan bos HRD dan bos Duri. Tidur dengan sukses sampai pagi.


SAMPLING PERTAMA (NYALIP ROMBONGAN)


Badan berasa abis digebukin, alias sakit semua. Terpaksa bangun, karena tugas sudah menanti. Ya… site visit & sampling tanah terkontaminasi dijadwalkan jam 8.00 pagi ini. (Andai saja….masih bisa tidur lagi…, pastinya lebih nyaman)

Jam 7.30 pagi, saya sudah siap-siap menuju lapangan. Tapi…tunggu punya tunggu. Masih bingung siapa yang akan mengantar. Akhirnya Bos WH memanggil saya
“ Mba Lis, yang nganter Yudi aja ya. Soalnya semua sibuk mobilisasi unit ke Project CMXXX”. Kata Bos WH.

“ Iya pak, siapa aja boleh. Asal tau jalan aja.” Jawab saya.

Ternyata Yudi, tidak tau alamat yang akan kami tuju. Waduh…., gimana ini. Akhirnya kami bertanya ke Bos HES (banyak banget boss ya…., di sini memang gudangnya Bos). Rute menuju lokasi kantor USER di gambar, berharap kami tidak nyasar.

Celakanya kendaraan yang kami pakai, bensinnya habis, AC nya tidak dingin malah cenderung hangat (ini mobil pakai Air Conditioning atau Air Heater ya….?). Isyarat buruk, bakal sauna sepanjang perjalanan. Mengingat Duri dan sekitarnya puanas….
Setelah mengisi bensin, kami pun sampai di Gate 3. Dipandu oleh seorang ibu yang mengendarai motor, akhirnya sampai di kantor USER. Tapi sayang….rombongan telah pergi beberapa menit yang lalu. (selisipan jalan….dong)

Saya bingung, harus bagaimana. Telpon Bos BDE eh…., jawabnya agak esmosi. Ya sudahlah…., tanya bos lainnya saja yang temperatur rendah. Ternyata bos BDE marah-marah ke para bos di Duri. Bla…bla…bla…, dengan arogansinya. Sampai –sampai bos CMXXX di Duri naik pitam, bawaannya mau ngarungin orang (kaya rambutan aja, dikarungin).

Bos WH yang super sabar pun akhirnya marah juga, karena bos BDE marah juga ke beliau. Ya….Allah…., gara-gara saya semua orang kena dampaknya. (maafkan saya ….bosss).

Padahal saya Cuma bilang, si USER agak kurang welcome aja saat ditelpon. Saya jadi maju mundur untuk melanjutkan perjalanan ini. Kok efeknya jadi ada yang kena marah ya? Bingung deh.

Bismillah…., akhirnya perjalanan dilanjutkan. Alhamdulillah…., dibantu pihak HES USER yang baik hati akhirnya kami sampai di tempat sampling. Malah mendahului rombongan. (waduh…ketahuan USER deh, kita “ngebut wa saibut” nyalip kanan kiri, termasuk menyalip mobil rombongan)

Sampling berjalan lancar. Lokasi tempat pengambilan sampel tanah yang tercemar minyak bumi, berada di lahan gambut. Area tersebut di aliri parit kecil. Airnya berwarna merah kecoklatan (seperti warna air teh, pH nya asam). Beberapa kali saya kejeblos, karena tanah yang saya pijak ambles. Alhamdulillahnya bobot badan saya tidak terlalu berat, hanya ambles sebatas mata kaki saja. Sampling tanah dilakukan sampai kedalaman 1 meter, setelah 1 meter ternyata sudah bertemu dengan muka air.

Jam 12.15 sampling selesai. Pihak USER mengatakan perjalanan dilanjutkan jam 14.00 nanti, setelah istirahat makan dan sholat. Kami berdua (saya & Yudi), segera berkemas. Untuk melanjutkan perjalanan.


SAMPLING KE DUA (NYASAR.COM)

Sambil melanjutkan perjalanan, saya membuka kamera. Mulai mencari cari gambar yang saya ambil saat sampling tadi. Astaghfirullah……ternyata, hanya dua gambar saja yang tersimpan. Selebihnya entah kemana. Semua gambar yang saya ambil tidak ada dalam kamera tersebut. Padahal sebelumnya gambar tersebut ada.

“ Ya….Allah…., bagaimana ini? Gambarnya kok ga ada?” gumam saya. Bagaimana dengan pembuatan proposal nanti, jika dokumentasi saat site visit dan sampling tidak ada.
Untuk kembali ke tempat sampling pertama sudah tidak mungkin, karena kami sudah lumayan jauh meninggalkan tempat tersebut. Izin memasuki lokasi pun bukan hal yang mudah.

Kami beriringan (konvoi) tiga mobil, paling belakang mobil saya, di depan kami mobil bertuliskan PMT, di depannya lagi mobil USER. Beberapa menit kemudian mobil PMT masuk pombensin, sementara mobil USER tetap melanjutkan perjalanan. Kami tidak mengikuti mobil PMT, tapi tetap mengikuti mobil USER. Pada simpang Dumai mobil tersebut belok kiri, kamipun dengan pe de mengikuti mobil tersebut. Beberapa menit kemudian, kami benar-benar kehilangan panduan. Mobil USER ngebut (mungkin 120km/jam), sementara kami tertinggal jauh di belakang.

Jam 14.00 kami tiba di jalan Abdurahman – Dumai. Karena takut tersesat lebih jauh, saya mencoba menghubungi pihak USER. Ternyata jawabannya kami sudah jauh di depan rombongan. Sedangkan mereka baru saja selesai makan dan sholat, tidak jauh dari lokasi sampling pertama.

“ Mba sudah jauh sekali di depan kami. Tadi tidak istirahat makan ya?” tanya USER

“ Saya tadi mengikuti mobil USER dengan nomor 008 pak, karena mobil itu terus jalan dan tidak istirahat kami ikut. Tapi sayangnya kami terpisah dari rombongan. Baiknya kami ambil jalur ke arah mana pak?” tanya saya

“ Lanjut saja ke arah Bandara Dumai mba, kemudian ke arah Kota. Nanti mba akan melihat tangki- tangki hitam besar. Nah…disana kita akan sampling.” Jawab User.
“ Baik pak, kami akan melanjutkan ke sana.”

“ Sebaiknya mbak istirahat makan dulu, sambil menunggu kami sampai ke sana. Waktunya masih cukup kok.” Ujar USER.

“ Iya pak, kami juga akan istirahat dulu. Terimakasih pak.” Saya akhiri telepon ke pihak USER.

Kami memilih makan siang, tidak jauh dari tempat saya menelpon tadi. Khawatir terpisah nyasar.

Setengah jam kami istirahat makan. Setelah menyiapkan alat sampling, kami melanjutkan perjalanan. Sebelumnya tak lupa kami tanya beberapa pihak tentang arah yang harus kami tempuh. Hasilnya….membuat kami bingung. Dari dua sumber, jawabannya berbeda. Ada yang mengatakan lurus ke depan, ada juga yang mengatakan kami harus berbalik arah. Karena yang kami tuju sudah terlewat. Kami pun bertanya ke orang ketiga, jawabannya sama dengan yang pertama. Voting, dua lawan satu, menang dua. Ya….sudah kami lanjutkan perjalanan ke depan (tidak mengambil arah sebaliknya).

Tunggu punya tunggu, tempat yang kami tuju belum kelihatan juga tanda- tandanya. Saya mulai khawatir lagi. Kayanya nyasar nih. Karena makin lama, arah yang kami tuju ke arah pusat kota. Kembali menghubungi USER, merupakan jalan keluar yang aman.

“ Pak, maaf. Ini kami di simpang, harus ambil ke arah mana ya? Ke kiri ke arah perusahaan Patradok, ke kanan ke bukit xxx, jika terus ke pusat kota dumai.” Tanya saya pada pihak USER sambil sesekali melihat tanda atau rambu di jalan.

“ Mba sudah kejauhan mba, tidak perlu masuk ke pusat kota. Tapi sebaiknya ambil jalan kembali. Ke arah yang tadi. Cari arah ke bandara Dumai. Nanti akan terlihat tank farm.” Jawab suara disana.

“ Yud, kita balik lagi. Dah kelewat jauh nih katanya. Atau ngomong sendiri deh sama USER.” Sambil menyerahkan HP kepada yudi.

Saat yudi berbicara dengan USER ditelepon, saya mencoba bertanya dengan orang di jalan. Kali ini pengendara motor di lampu merah.

“pak arah ke bandara lewat mana ya?” tanya saya pada pengendara motor
“ Di depan ini langsung belok kiri, itu jalan pintas mba. Lebih dekat ke bandara Dumai. Kalau mau terus bisa juga, tapi jauh” Jawabnya

Lampu merah sudah berganti hijau, cepat-cepat si pengendara motor itu melaju. Tinggal kami yang masih kebingungan. Kenapa dari tadi para penunjuk jalan tidak ada yang kompak. Beberapa orang yang kami tanya, jawabannya semua beda arah.

“ Kita coba aja yud, kali aja bisa ketemu lagi rombongan.” Ajak saya
Kami mengikuti arah yang tadi di sarankan oleh pengendara motor di lampu merah. Belok kiri terus….., tapi…perasaan saya ada yang aneh. Bukan menuju tank farm tapi malah masuk perumahan pertamina. Bagaimana ini, kok makin nyasar.

Kami berbalik arah, ke tempat simpang tiga saat kami ambil belok kiri. Kembali kearah sebelumnya. Sudah jam 15.30 tapi masih berputar-putar tak tentu arah. Sementara panas sangat menyengat. Mobil pun tanpa AC. Terpanggang dalam mobil, tak ada pilihan lain. Mencoba menerima kondisi dengan ikhlas.

Saya mulai berfikir, ada apa dibalik semua kejadian ini. Mungkin Allah sedang menegur saya dengan manis. Belum faham juga apa hikmah dibalik tersesatnya kami. Apa Allah tidak ridho pada apa yang kami lakukan, atau….. ini akumulasi dari dosa yang dilakukan perusahaan. Ah…saya tidak mau menduga-duga. Mungkin juga karena kesalahan yang tidak sengaja saya lakukan. Sepanjang perjalanan saya hopeless, tidak tau harus bagimana lagi. Tidak tau harus menempuh jalan yang mana agar kami sampai ke tujuan.

Dengan sisa semangat yang semakin menipis, kami tetap in contact dengan Bos WH dan CMXXX, bahkan berkali-kali juga saya hubungi HP pihak USER. Tapi tidak dijawab. Jam 16.30 sore, kami keluar di jalur simpang Bangko. Masya Allah……, kami ke arah jalan pulang ke Duri, bukan arah Dumai.

Ya….Allah…., sudah lelah badan ini. Kepanasan, kehausan, belum lagi letih seharian duduk dengan setengah melompat-lompat karena mobil di laju dengan kecepatan yang tinggi. Berharap dapat menyusul rombongan.

Akhirnya saya putuskan menelpon bos CMxxxx.
“ Pak, gimana nih. Kita malah sampe simpang bangko. Dah hopeless, mau lanjut ngga bakalan terkejar. Mereka selesai sampling jam 5 sore.” Saya mencoba menjelaskan. Saat kami tiba di simpang bangko dan menepi sesaat untuk ambil keputusan yang tepat.

“ Astagfirullah…, kirain tadi sudah sampai ditempat, dari kalian telepon jaraknya Cuma 200 meter saja. Kok malah sudah sampai di simpang bangko. Itu sudah terlewat jauh.” Bos CMXXX menjelaskan.

“ Tapi kita memang dari tadi ngga melihat tangki-tangki besar itu. Mungkin arahnya beda. Atau kami yang malah nyasar terus.” Jawab saya.

“ Ya sudah, lebih baik kalian pulang saja. Percuma, tidak akan cukup waktu untuk ke tempat sampling. Nanti kita bicarakan dengan pihak USER bagaimana baiknya. Semoga mereka mau izinkan kita sampling lagi.” Saran Bos CMXXX, cukup menenangkan hati.
Akhiranya kami kembali pulang ke Duri, setelah sebelumnya mencoba menghubingipihak USER kembali. Karena tidak ada jawaban kamipunmemutuskan untuk pulang.

Sepanjang perjalanan pulang saya berfikir, ada apa dibalik semua ini. Semoga hanya kebetulan saja. Saya istighfar….sepanjang jalan pulang. Mohon ampun kepada Allah atas kesalahan yang saya buat. Apapun itu yang menyebabkan nyasar sepanjang hari ini.

PS: rekor nyasar terlama yang pernah saya alami (dari jam 12.15 siang sampai jam 16.30 sore), dan tidak sampai tujuan pula.

Allah masih sayang

Duri Riau ; Mei 2009

Kali ini perjalanan tugas mengirim saya ke kota penghasil minyak, ya…. Kota kecil Duri (Riau). Sebagai Analis lab. saya kebagian jatah trial skala laboratorium pada salah satu tahapan project, padahal beberapa waktu sebelumnya turut mensupport team untuk presentasi pada pihak Cevron.

Dengan membawa peralatan lenong (alat Lab lengkap dengan pereaksi), saya berangkat bersama rekan kerja (sesama analis, adik kelas pula di almamater), KKn banget ya….
Bawaan kami lumayan buanyak dan bikin repot, karena semua masuk special handling, (takut rusak euy….) ada Spektrofotometer, ada Infra Red, belum lagi glassware, wuih….seru. 2 troli masih numpukh. Alhamdulillah, semua bawaan bisa masuk bagasi, tentu saja dengan extra hati-hati, dan rajin mewanti-wanti pihak penerbangan.

Karena harga barang tersebut sangatlah mahal. Kalau saja hilang atau rusak, gaji kami berdua selama setahun belum cukup untuk membeli alat itu, tus….tus…tus….juta.
Ada kejadian unik, saat kami membawa syringe injector untuk Infra Red, sempat ditanya oleh petugas, kami bilang saja sebagai pelengkat alat lab yang kami bawa.

Hampir saja tidak bisa kami bawa, (alhamdulillah….lagi, akhirnya bisa juga masuk). Mungkin melihat tampang saya yang inocent ya…(hihihi).
Trial berjalan lancar (rahasia UMUM), keep the secret ya…
Setelah selesai trial, kamipun berkemas pulang, dengan tetap membawa peralatan lenong. Karena Penerbangan jam 5 sore, dengan berangkat sekitar jam 1 siang, jaga-jaga kalau di pekanbaru macet. Waktu tempuh dari Duri ke pekanbaru sekitar 2,5 jam. Cukup membuat pinggang saya sakit, jalannya agak grenjulan (tidak rata), dan berkelok pula. Belum lagi kalau pas berpapasan dengan truk balak (tronton atau truk besar yang membawa kayu gelondongan), dengan muatan super penuh, dan dirantai seadanya. Saya seringkali parno, ngeri ketiban balak kayu tersebut.

Disatu saat posisi mobil kami tepat berada dibelakang truk yang mengangkut pipa baja atau tubing (eh…ini nulisnya bener ga ya?). pipa tersebut diikat dengan rantai. Yang saya heran pada tumpukan pipa tersebut tidak ada penahannya, maksudnya pada ujung pipa tidak di ikat, atau ditahan oleh rantai atau besi, sehingga kemungkinan merosot sangat besar. Dan kami bisa jadi saja jadi korban kalau pipa itu merosot. (wuih….ngeri). feeling saya tidak enak.

“ pak, tolong jauh-jauh dari truk di depan, saya takut pipanya merosot”. Ujar saya ke pak Rusdi

“Iya mba, saya juga ngeri,” jawab beliau.

“mending disalip aja pak, atau jauh dibelakang sekalian. Biar aman.” Tambah saya, sambil dalam hati terus berdoa semoga pipa tersebut aman dan nyaman dalam posisinya, dan tidak ada niat untuk merosot menyapa kami (menyapa???? Yang ada bisa menghancurkan mobil kami).

Saat ada kesempatan menyalip, akhirnya mobil yang kami tumpangi pun bisa mendahului. Alhamdulillah….seru kami bersamaan. Akhirnya posisi mobil berada didepan dan berjarak satu mobil dengan truk pengangkut pipa tadi.

Selang beberapa saat kemudian, kami tiba pada tanjakan sekaligus belokan. Mobil kamipun berhenti setelah melewati tanjakan tersebut. Tidak tau ada apa, di depan kami macet. Mungkin ada truk yang terperosok atau apa di depan sana. Saat itulah saya menengok ke belakang, ingin melihat antrian mobil di belakang kami. Pas saat saya lihat truk pembawa pipa, ngerem diposisi tanjakan tersebut. Tumpukan pipa satu-satu merosot ke bawah dengan suara yang cukup keras.

Astaghfirullah……kami bertiga terkejut. Pipa pipa besar tersebut meluncur dengan cepat, memenuhi jalan dibelakangnya. Sesaat kami amati, tidak ada kendaraan di belakang truk itu.

Subhanallah….., Walhamdulillah…., Wallahuakbar……, hati saya mencelos. Mungkin kalau di EKG, jantung saya mendadak berhenti melihat kejadian itu. Bagaimana jika saat itu kami bertiga berada dalam posisi tepat dibelakang truk pembawa pipa tersebut.

Wallahu’alam…., mungkin kami sudah almarhum semua. Tapi Allah berkehendak lain. Allah masih sayang kami, Allah masih berikan kami kesempatan, untuk hidup sampai sekarang. Semoga kesempatan yang Allah berikan ini menjadikan kami manusia yang pandai bersyukur dan lebih berhati-hati dalam setiap kondisi.

Ya….Allah…., Terimakasih, telah Engkau berikan kami kesempatan lolos dari kejadian tragis tersebut.

Al Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit

Imam Abu Hanifah adalah salah satu dari Imam Madzhab. Terlepas dari berbagai pendapat yang simpang siur, karena adanya kafanatikan kaum terhadap salah satu madzhab. Imam abu Hanifah adalah seorang Imam yang pendapat dan pemikirannya diperhitungkan dalam dunia Islam.

Dari Yahya bin Mu’in, dia berkata,” aku pernah mendengar yahya Al Qathan berkata, “kami berbincang-bincang dengan Imam Abu Hanifah dan kami banyak mendengar darinya. Jika aku memandangnya, aku tahu bahwa wajahnya itu adalah orang yang takut kepada Allah SWT,”

Al khatib pernah meriwayatkan sanjungan Ibnu Al Mubarak kepada Imam Abu Hanifah, dalam bait syairnya:

Al khatib pernah meriwayatkan sanjungan Ibnu Al Mubarak kepada Imam Abu Hanifah, dalam bait syairnya:

Aku melihat Abu Hanifah makin hari semakin mantap kecerdasan kebaikannya.
Dia selalu mengatakan kebenaran dan menyeleksinya,
disaat orang Zhalim berbicara dengan kezhalimannya.

Kecerdasannya tidak bisa disamakan dengan yang lain,
lalu siapa orang yang bisa mendatangkan orang sepertinya?
Janganlah kami kehilangan Hammad (puteranya Abu Hanifah) saat itu adalah musibah besar bagi kami.

Dia adalah orang yang intens membantah hujatan para musuh kita (Islam),
kemudian dia memperlihatkan keunggulan dan tingginya ilmu pengetahuannya.
Aku melihat Abu Hanifah ketika ia didatangi dan diminta mengajar,
ternyata ilmunya seluas lautanyang menghampar.

Jika ada permasalahan yang ditangani para Ulama, dia bersabar (menyelesaikannya)


1. Nama, kelahiran dan sifat-sifatnya

An-Nu’man bin Zauthi At-Taimi Al-Kufi (kepala suku dari Bani Tamim bin Tsa’labah)
Hanifah dari kata : orang yang suka membawa tinta (bahasa Irak)

Kelahirannya; pada tahun 80 Hijriyah di Kufah, pada pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Sifatnya ; Berperawakan sedang, tampan, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung, berwibawa tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan, tidak mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya.

2. Sanjungan para Ulama terhadapnya

Al Fudhail bin Iyadh berkata,” Abu Hanifah adalah seorang ahli fikih terkenal, selain itu ia juga terkenal dengan kewara’annya, banyak harta, sangat memuliakan orang disekitarnya, sabar menuntut ilmu siang malam, banyak bangun malam, tidak berbicara kecuali harus menjelaskan kepada masyarakat tentang halal dan haram suatu perkara. Dia sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran hokum dan tidak suka dengan harta para penguasa.

Ibnu Ash-Shobah menambahkan,” jika ada masalah yang ditanyakan kepadanya, dia berusaha menjawabnya dengan hadist shahih dan menggunakan sebagai dalil walaupun berasal dari sahabat dan para tabi’in. jika tidak ada maka iya menggunakan Qiyas, dan dia adalah orangyang piawai dalam menggunakan qiyas.”

Dari Abu Wahb Muhammad bin MAzaahim, dia berkata,” aku pernah mendengar Abdulah bin Al-mubarak berkata,” aku telah melihat orang yang paling ahli dalam ibadahnya, aku telah melihat orang yang paling wira’I, aku telah melihat orang yang paling banyak ilmunya, dan aku telah melihat orang yangpaling ahli dalam bidang fikih. Adapun orang yang paling banyak ibdahnya adalah Abdul Aziz bin Ruwwad, orang yang paling wira’I adalah Fudhail bin Iyadh, orang yang paling banyak ilmunya adalah sufyan Atsauri, sedangkan orang yang paling ahli dalam bidang fikih adalah Iman Abu Hanifah.”

3. Ibadahnya

Dari Asad bin Amr, dia berkata,” Sesungguhnya Imam Abu Hanifah melakukan sholat isya dan subuh dengan satu wudhu selama 40 tahun.”

Dari Al-Mutsanna bin Raja’ dia berkata,” Abu Hanifah telah benar-benar bersumpah kepada Allah untuk bershodaqoh dengan uang dinar, yaitu jika dia membelanjakan uangnya untuk kepentingan keluarganya, maka dia akan memberikan shodaqoh dengan jumlah uang yang sama sesuai dengan yang dibelanjakan untuk keluarganya.”

Mendapat julukan al watid (kuat), karenaa banyaknya sholat yang dilakukan.

Dari Al Qasim bin Mu’in berkata,” sesungguhnya Imam Abu hanifah selalu bangun malam dan sering membaca ayat (QS Al Qamar:46)
Yang artinya: “ sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.”
Kemudian dia menagis dan merasa rendah diri serat takut kepada Allah SWT hingga menjelang fajar.”

Tidak pernah tidur menggunakan bantal, hanya tidur pada waktu dzuhur menjelang asar pada musim panas dan awal malam pada musim dingin.

4. Kewara’annya

Orang pada masanya akan berkata bahwa orang yang paling wara adalah Iman Abu hanifah.
Ada satu kisah “ pada saat Abu Hanifa membarikan hadiah pada Hafsh bin Abirrahman, dia menjelaskan bahwa baju yang dia berikan ada cacatnya, sehingga jika dia harus menjaulnya maka cacatnya harus diberi tahu. Kemuadin teman baiknya ini menjual baju tersebut dan lupa memberitahu pembelinya tentang cacat bajunya. Kemudian abu hanifah mensodaqohkan sejumlah uang seharga yang sama dengan baju yang dijual sahabatnya itu.

5. Toleransi & kemuliannya

Abu Hanifah sangat menghormati teman-temannya, dan paling bisa memuliakan lawan bicaranya.

6. Komitmen untuk selalu mengikuti sunnah

Pada dasarnya Imam Abu Hanifah selalu menggunakan Al Qur’an, jika tidak ada maka dengan sunnah, jika tidak ada maka dengan pendapat para shahabat, tapi jika pendapatnya berselisih, maka diambil yang paling emndekati Al Qur’an atau Sunnah. Tetapi jika tidka menemukannya maka ia melakukan Ijtihad dan tidak mengambil dari para tabiin.


7. Cobaan yang menimpa


Dari Ubaidillah bin Amr, dia berkata,” sesungguhnya Ibnu Hubairah telah mencambuk Abu Hanifah sebanyak 110 cambukan dengan cemeti agar dia meu memegang jabatan sebagai hakim, akan tetapi dia lebih memilih untuk menolaknya. Ibnu Hubairah adalah salah seorang pejabat pemerintah khalifah Marwan, dia situgaskan di Irak pada masa bani Ummayah.”

Suatu ketika dia dibebaskan dan dia berkata” sesungguhnya kesedihan orang tuaku lebih membuatku bersedih daripada cambukan yang diderakan kepadaku.”

8. Wafatnya

Dalam kitab “Al ibar” Adz-Dzahabi berkata,” diriwayatkan bahwa khalifah Al mansyur member minuman beracun kepada Imam Abu Hanifah dan diapun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah member rahmat padanya.”
Beliau meninggal dunia pada tahun 150 Hijariyah dalam usia 70 tahun, dia meninggalkan seorang putera Hammad.

Sumber: 60 Biografi Ulama salaf karya Syaikh Ahmad farid (hal 166-182)

BELAJAR MOTOR

Pagar tetangga

Penasaran melihat orang yang naik motor dengan nyantainya, berseliweran di depan rumah, di jalan, bahkan banyak pula anak-anak usia sekolah dasar mahir mengendarai motor. Sayangnya saya belum cukup berani untuk belajar naik motor. Sekedar naik sih sering, mbonceng sama tukang ojek. Tapi untuk mengendarai sendiri, jujur belum pernah. (hari gini…, masih ada orang yang ga bisa naik motor) ada kok, ya…saya.

Mulai lirik-lirik motor di kantor, untuk sekedar belajar menstarter motor dalam posisi standar terpasang, mencoba nge gas (agak berisik), kemudian mematikan lagi motornya. (norak banget ya). Sampai satu saat, kakak ipar saya membeli motor “bodong” yang tampangnya saja sudah tidak jelas, motor merek apa, keluaran tahun berapa, sayap motornya sudah tidak ada, begitu pula tutup mesin di bawah stang, kabelnya semrawut. Cocoknya masuk museum ini motor. Berkat dikomporin kakak dan orang sekitar, sayapun memberanikan diri untuk belajar motor.

Saya mencoba memasukkan gigi, dan nge gas pelan-pelan. (memang motornya sudah tidak bisa ngebut). Saat akan berhenti sayapun gugup, rem tangan kok ga pakem, alias masih saja si motor jalan terus. Dicoba rem kaki, juga sama kondisinya. Duh…. Mulai panic nih. Terpaksa saya arahkan motor ke pagar tembok milik tetangga. Brukkh… wadaw….(kaki tergencet, antara pagar dan motor) sakitnya ampun-ampun. Tulang kering membiru, memar. Belum kapok juga beberapa kali saya ulangi. Jalan belok, dan berhenti dengan sasaran pagar rumah orang yang lain. Pfffffh… maaf ya pak.. bu… numpang ngerem, Alhamdulillah pagarnya tetap berdiri kokoh, tinggallah kaki saya yang bonyok-bonyok.

--------

Ternyata berat

Merasa diri sudah pernah latihan motor di rumah, kali ini saya agak percaya diri untuk pinjem motor kantor. Mumpung mobil di parkiran kantor lagi sepi, sayapun memberanikan diri menyalakan motor (padahal pakai baju gamis) dan nge-gas perlahan. Sekedar info saja, saya tidak pernah berani dalam posisi gigi satu, karena sering lompat-lompat trus gubraks….(jatuh deh). Langsung gigi dua, saya mencoba mengitari parkiran yang cukup luas.

Tidak puas di parkiran, lanjut ke luar agak menjauh dari kantor. Jalan setapak yang cukup sepi. Sampai di ujung jalan mencoba membelokkan motor. Tapi tidak berhasil. Motorpun saya matikan dan mencoba membelokkan motor dalam posisi mati. Ternyata Masya Allah…, motor itu ternyata bueraaaaat…, alih- alih membelokkan motor, saya jatuh terjerembab bersama si motor dengan posisi, kedua tangan di atas tanah becek, lutut kepentok body motor. Duh…., semoga ga ada yang lihat tadi. Baju belepotan kena tanah, lutut berasa senut-senut, kedua telapan tanganpun tak luput dari beceknya tanah. Motornya “fine-fine” aja tuh. Habis jatuh, lutut masih gemetaran, tangan masih belepotan tanah. Mau angkat motor, takut jatuh lagi. Alhamdulillah datanglah pertolongan, ada tukang jualan pikulan lewat.

“ Pak, maaf pak, minta tolong dong pak, tolong berdiriin motornya, saya ga kuat.” Pinta saya. Bapak itu melihat saya melas, pastinya liat baju dan tangan saya yang masih belepotan tanah.

“ Baru belajar motor ya mba?” Tanya si bapak, sambil menaruh pikulan daganggnya, kemudian mencoba mengangkat dan menegakkan posisi motor. Setelah motor itu berdiri, bapak itu mendorong motor mendekati saya berdiri

“Hati-hati mba, jangan sampai jatuh lagi. Itu bajunya bahaya, takut keserimpet ntar.” nasihatnya.

“Iya pak, makasih banyak ya pak…” jawab saya. Dalam hati bersyukur, pertolongan Allah datang di saat yang tepat.
-------------

Katulampa “We are Coming”

Setelah kejadian jatuh dari motor, apakah saya kapok??? Ternyata tidak. Kali ini saya tidak tanggung-tanggung belajar motornya. Berbekal motor baru (baru nyicil pula), saya membonceng calon adik ipar (Ratih) untuk pergi ke SKI Katulampa (toko tas ternama di bogor). Padahal seumur-umur belum pernah naik motor yang jaraknya lebih dari 100 meter. Ini bisa dibilang berani bin nekat. Ratih juga tenang-tenang aja tuh, belum tau kalau saya masih dalam taraf belajar motor.

Kami berangkat dari rumah kakak (pamikul), jam 8 pagi. Hari minggu biasanya jalan masih sepi, jadi cukup aman untuk pemula seperti saya. Konvoi dua motor, saya membonceng Ratih, sementara mba Susi dibonceng suaminya (Nadin ponakan juga ikut). Bissmilahi majreha….wa mursaha ina robbi la gofururrohiim.., semoga selamat pulang pergi. Dalam hati saya hamper ciut, takut kenapa napa di jalan. Apalagi mbonceng anak orang. Alhamdulillah jalan benar-benar sepi, lebih banyak yang berjalan kai menghirup udara yang masih segar. Maklum Bogor masih adem ayem tentrem kalau pagi begini.

Sengaja kami mengambil jalan alternative, bukan jalan umum yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, tapi justru jalan yang cukup lebar sepi pemakai. Dari pamikul, kami belok kiri kea rah Cimahpar, di perempatan kami lurus ke arah Kampus Universitas Pakuan, jalannya memang sepi dari angkot. Jalan mulus dan bagus biasanya jadi ajang kebut-kebutan, makanya jalan yang saya lewati banyak poldur (polisi tidur), biar ga pada benjut kalo ngebut. Saya yang masih pemula urusan motor, setiap melewati poldur, ga bisa ngerem. Tapi bablas… saja. Tinggal Ratih yang teriak-teriak dan latah “eh kodok-kodok” , tiap poldur jadi berasa ketemu sama banyak kodok (maaf ya dek…). Sekalinya saya coba ngerem, nyaris nyusruk karena motor ga mau digas setelah sempat direm, tapi justru oleng kekanan dan kekiri.

Mba Susi, Rus dan Nadin jadi terhibur ada lawak dadakan di tengah jalan. Ya…saya ini. Mereka ketawa ketiwi, tega. Melihat adiknya belajar motor, dengan membawa korban pula (Ratih dengan “kodoknya”). Jarak yang sebetulnya dekat, jadi terasa jauuuuh…sekali. Karena tiap ketemu perempatan saya sutressa bukan main. Sementara jalan mulai ramai dengan kendaraan. Rus sering mendahulukan saya, agar bisa lewat lebih dulu. Setelahnya baru dia yang lewat (baiknya…, makasih ya pak).

Ah…akhirnya sampai di Katulampa, tapi bahaya nih, jalan masuknya turunan yang cukup curam, bisa-bisa saya nyungsep zep. Nyaris nabrak mobil saat saya mencoba menuruni jalan itu. Untung saja pengemudi mobilnya orang baik. (maaf ya Om…). Alhamdulillah…, sampai di tujuan dengan selamat sentosa.

Saat yang menakutkan itu tiba, pulang agak siang, kendaraan mulai padat merayap. Saya yang agak paranoid, harus mengendarai motor disela-sela mobil. Duh…, bisa ga ya??? (agak pesimis). Kadang mata saya merem sangking takutnya, takut nyerempet mobil orang. Kok aneh ya…malah merem. Allah masih sayang sama saya, saat harus lewat di sela-sela mobil dengan mata kadang merem melek karena takut, dan selamat…., tidak menggores sedikitpun mobil di samping kanan kiri saya. Tinggal pasukan “kodok” diboncengan saya makin banyak.

Tiba di satu tikungan dimana saya harus menyebrang, sementara diseberang sana ada polisi berdiri. Waduh…. deredeg, jantung saya seketika. Tidak punya sim pula, bagaimana kalo tiba-tiba saya malah nabrak. Akhirnya Rus jalan lebih dulu, berhenti tidak jauh dari pak Polisi, entah apa yang dibilang Rus ke Polisi itu, tiba-tiba saja polisi itu menyetop mobil akan menyeberang jalan, memberi saya ruang untuk bisa jalan lebih dulu. Waduh…, baik sekali pak polisi itu.

“Makasih ya pak…,” saya mengucapkan sambil setengah teriak. Pak polisi itu Cuma mesem. Moga amal ibadah pak polisi diterima (loh…)

Berkali-kali saya tidak berhasil ngerem, akhirnya saya complain ke Rus, untuk disetel remnya, supaya saya bisa ngerem. Setelah istirahat sebentar, sambil setel rem. Nadin terus meledek saya.

“Amah…, amah lucu amat sih naik motornya. Kaya mau nabrak gitu.” Nadin ngeledek sambil sesekali cekikikan.

“Yah…Nadin, namanya juga baru belajar.” Jawab saya sambil melihat ekspresi Ratih, yang matanya mulai melotot.

“Mba, jadi baru belajar motor?” Tanya Ratih bingung.

“ Iya, ini pertama kali naik motor agak jauh. “ jawab saya sekenanya, diiringi suara tertawa Nadin dan Mba Susi.

“Wah…tau gitu, ratih ga mau dibonceng.” Jawabnya kecut.

“Lah… dah tanggung Tih, tadi kan buktinya selamat sampai tujuan. Walau banyak kodok dimana-mana.” Jawab saya sambil cengengesan.

Setelah rem disetel ulang, saya mencoba dan berhasil ngerem tanpa nyusruk. Semoga kodoknya Ratih berkurang.

Memasuki kawasan Bantarjati yang ramai angkot, pas di perempatan jalan, arah yang harus saya ambil menyebrang sekaligus belok kanan, dengan posisi menanjak pula. Titik yang mengkhawatirkan bagi saya. Bismillah…., berhasil menyebrang jalan, tiba saat tanjakan motor yang saya kendarai tidak mau jalan juga. Tapi justru oleng ke kanan dan akhirnya membentur trotoar pembatas di tengah jalan. Motorpun nyaris jatuh, begitu pula dengan penumpangnya. Ratih dengan sigap segera menginjak rem.

Sementara saya masih bingung mengendalikan motor supaya tidak rebah ke aspal. Jadilah saya dan ratih tontonan gratis. Banyak yang mesem-mesem kasian, tapi ada juga yang ketawa ngakak (teganya). Kami berduapun akhirnya ikutan juga ketawa. Baru tersadar bodohnya saya, harusnya pas tanjakan pindah gigi satu (maklum, phobia gigi satu).

Rumah sudah dekat, tapi Ratih memilih jalan kaki sampai ke rumah (kapoknya telat). Sementara saya lagi-lagi belum kapok juga, habis nyusruk naik lagi deh ke motor untuk pulang ke rumah dengan selamat.

Selang sebulan, Ratih saya ajak lagi ke Katulampa padahal becanda, tapi bisa ditebak jawabannya. Dia bilang begini, “Ga mau ah mba, kalo harus dibonceng sama mba,” penolakan yang sangat jujur (Teganya)

--------

Musuh itu bernama “REM”

Setelah kejadian pasukan kodok, motor baru (yang baru nyicil pula) akhirnya dihibahkan ke adik. Alasannya karena dia lebih butuh dibanding saya. Lagipula sayang alias mubazir, punya motor ga pernah dipakai. Kalaupun saat weekend, ada motor suami. Kan ga mungkin kami naik motor sendiri-sendiri, nanti dikira tukang ojek.

Pindah ke Cikarang, menjadikan saya harus bisa naik kendaraan sendiri misalnya motor atau mobil. Karena kondisi rumah yang jauh dari peradaban (alias jauh dari mana-mana), tidak ada angkutan umum yang masuk keperumahan. Kalaupun ada jarrraaaang sekali. Angkutan utama adalah ojek (minus rem), karena tiap lewat poldur ga pernah ngerem tuh si tukang ojek.

Berhubung dirumah ada motor jaman baheula, yang lumayan masih bisa jalan. Maka saya pun memberanikan diri untuk naik motor. Saat itu saya sedang sakit gejala typus (ini sakit-sakit nekat). Reflek agak berkurang, jalan juga masih sempoyongan. Berkali-kali suami coba mengingatkan untuk tidak naik motor dulu. Sayanya bandel. Tetep kekeuh surekeuh (ngotot), ingin naik motor. Iffa dalam gendongan ayahnnya, sementara saya naik motor sendiri.

Saatnya tanjakan. Motor agak oleng kekanan dan ke kiri. Karena takut nyusruk, saya coba ngerem. Tapi kok ga berhenti juga motornya, saya injak sampai pol, tidak bergeming. Jurus terakhir, rem tangan. Tapi ternyata rem tangannya dol. Ga ngaruh. Motor semakin oleng, sementara jalan menanjak. Akhirnya motor jatuh, bersama penumpangnya. Kepala membentur aspal, kaki terjepit diantara body motor. Rasanya kejadian begitu cepat. Saya ga ngeh bagaimana kok sampai bisa jatuh. Tersadar dengan posisi tubuh miring kekiri, dengan motor yang masih hidup.

Suami setengah berlari menghampiri saya, diturunkannya Iffa dari gendongan. Kemudian segera mematikan motor.

“ Astaghfirullah…, Ibu…kok bisa jatuh.” tanyanya sambil membimbing saya untuk berdiri.

“Ga tau, mau nge rem malah jatuh, rem tangan juga ga bisa.” Jawab saya sambil menahan sakit

“ Maaf, ayah lupa kasih tau kalau rem tangannya memang rusak, tapi rem kaki masih bisa kok.” Jelasnya lagi. Sambil mencoba menghidupkan motor, dan mencoba rem kaki.
“Ini bisa kok bu, memang harus dalam nginjaknya. Ya sudah, jangan naik motor lagi ya. pokoknya ibu ga boleh naik motor. Ayah trauma liat ibu jatuh barusan.” Pintanya dengan wajah melas, liat saya yang masih meringis nahan sakit.

Sambil mengendong Iffa, kamipun pulang. Yang jelas, saya dilarang keras sama suami untuk naik motor. Saya heran, kok malah suami yang trauma liat saya jatuh dari motor, sementara saya belum juga kapok (walau kepala benjol, pundak memar, kaki dan tangan lecet-lecet).

Namanya belajar, wajar toh jatuh dan jatuh lagi. Anak kecil saja saat belajar jalan, berulang kali harus jatuh sebelum dia benar-benar bisa berjalan tegak di atas kakinya. Cukuplah ambil hikmah dari setiap kejadian, bahwa belajar memang ada saatnya terjatuh, bangun, kemudian jatuh lagi. Kita hanya bisa berjaga-jaga agar saat terjatuh, tidak parah efeknya. Atau bahkan bisa diminimize dengan memperhatikan kendaraan yang akan kita bawa, sudah safety atau belum. Jika belum yakin, amannya jangan, daripada fatal akibatnya. Tersadar saya akan musuh utama saat naik motor, musuh itu bernama REM. ^_^

Ribut mulut dengan pemabuk

Berbagai kejadian aneh bin ajaib sering dialami, akibat sikap tomboy saya. Kali ini agak parah, hampir berkelahi diangkot, gara – gara saya dikira “cowok”. Saat itu saya mau ke rumah kakak di daerah ciracas, dari condet kami (saya & mba susi) naik angkot 07 kemudian nyambung naik angkot 03 jurusan cililitan kelapa dua, di angkot tersebut saya duduk dipojok bagian kanan (yang bangku pendek untuk 4 orang penumpang), sementara kaka saya (mba susi) duduk di bagian kiri (yang isinya untuk 6 orang penumpang) di depan saya duduk dua orang lelaki (mungkin umurnya di atas saya dua atau 3 tahun), di sebelahnya ada jatah untuk satu orang lagi, kemudian tempat duduk mba susi.

Awalnya saya sudah menaruh curiga terhadap penumpang di depan saya.Wajahnya lusuh, matanya merah dan agak berbau alkohol (satu orang) yang satu biasa saja, tidak mencurigakan. Angkot kali ini berhenti untuk mengmbil penumpang. Dua orang naik (ibu – ibu pula), satu orang duduk di bangku tambahan, satu lagi duduk di bangku 6 (deretan mba susi), tapi karena “penumpang mata merah” di depan saya tidak mau bergeser, alias maunya deket – deket ke mba susi. Akhirnya saya angkat bicara.

“ Tolong geseran dikit dong, kasian ibu itu duduknya susah” saya bicara dengan nada yang biasa, tapi malah dijawab nyolot

“ Mau apa lu, mau ribut?” jawabnya

“ Saya ga mau ribut, Cuma minta tolong duduknya minggir sedikit, ibu itu mau duduk juga” jawab saya yang agak naik intonasinya

“ Jadi mau lu apa?, gua ga mau geser,mau ribut lu?” dengan nada yang makin meninggi, dan posisi tangan mengepal, seperti mau meninju saya.

“ Saya ga mau ribut, Lu aja yang ga bisa mikir. Kasian tuh ibu-ibu mau duduk susah gara-gara elu ga mau geser dikit, emang ini mobil Lu” jawab saya yang agak sewot juga.

“ Eh udah….udah…., ga tau malu. Beraninya sama perempuan” akhirnya mba susi ikut bicara. Mungkin takut juga kalau adiknya ini di apa-apain sama cowok bermata merah itu.

“ Eh…, elu cewek, bukannya cowok?” dia balik bertanya pada saya

“Emang kenapa kalo cewek” saya jawab dengan ketus

“ Gue kirain cowok” jawabnya pelan, sambil menundukkan kepalanya. Malu mungkin.

Dalam hati, saya bersyukur, “Alhamdulillah”……, kalo tidak ditengahi oleh mba susi, mungkin sudah adu jotos di angkot. Tidak lama kemudian mereka berdua turun, sambil tak lupa minta maaf pada kami.

“Lis, besok – besok jangan begitu lagi ya, tadi hampir aja berantem sama orang”. Mba susi mengingatkan saya.

Saya Cuma bisa nyengir, tapi dalam hati berjanji, besok harus lebih hati – hati lagi.

Bukan “mas-mas”

Pas tahun 96, saat penerimaan mahasiswa baru, saya yg senior ikutan acara ospek di kampus. Bertugas sebagai PJS (Petugas Jaga Harian) dari sebuah kelompok mahasiswa baru. Saat itu ada seorang cama (calon mahasiswa) protes kepada senior yang lain, bahwa kelompoknya punya pjs tidak ada perempuannya. Kebetulan saya yang pegang kelompoknya. Waduh….saya dianggap laki-laki rupanya? Separah itukah tomboynya saya? senior yang lain jadi ramai, ada tertawa, ada juga yang sedih (khususnya teman – teman saya yg sudah berjilbab rapi, dan para ikhwan beneran tentunya).

“Tuh …kan, salah liat deh adik kita, besok – besok tomboynya kurangin deh lis” begitu salah satu ucapan yang sempat saya ingat.

Saat itu saya hanya menanggapi sengan tidak serius. Tapi lama kelamaan sempat jadi fikiran juga. Karena saya pernah baca (bahkan berkali – kali) tentang laknat Allah pada laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya. Na udzubilah…., jangan sampai saya dilaknat oleh Allah, karena saya berpenampilan seperti laki – laki.

Setelah saya ingat – ingat memang saya berpenampilan seperti laki – laki, sepotong rok pun saya tidak punya (saat sekolah hanya rok seragam saja yang saya punya), rambut hampir selalu cepak, pakaian sehari – hari jeans belel, kaus panjang, kemeja panjang, atau pakai sweater (karena dulu bogor lumayan dingin dan sering hujan), sepatu keds, make up…, waduh boro – boro deh. Pake bedak sebatas bedak bayi, karena kulit saya agak sensitif (ga bisa pake bedak macem –macem), dan satu lagi yang ga pernah ketinggalan, saya selalu pakai topi. Entah kenapa, saya merasa nyaman dengan topi.

Selain bisa mengurangi wajah yang terpapar matahari, saya juga bisa bersembunyi untuk tidur saat dikendaraan umum. Kalao sudah begitu, tak jarang orang salah panggil ke saya. seperti saat saya pulang ke jakarta bersama ita teman saya sekelas, saya dipanggil mas sama pedagang asongan. Pernah juga saat ke mall dengan yuli (teman sekelas saya juga), kami bertemu dengan senior, eh….dikiranya kami lagi pacaran (ih….ngawur) pas deket baru dia ngeh bahwa yang dikira cowoknya yuli adalah saya ( cewek juga gitu loh).

Kejadian lainnya saat saya pulang kemaleman, diangkot saya ketemu sama ibu – ibu, yang ternyata memperhatikan saya cukup lama, mungkin karena saking penasarannya beliau bertanya sama saya.

“ maaf mba atau mas ya?” tanya beliau dengan sopan.

“ mba bu, saya perempuan,” jawab saya, sambil nyengir.

“oh….pantes, saya fikir laki – laki, hati – hati nak, sudah malem, sendirian ya?” tanya beliau lagi.

“ iya bu, sendirian, mau pulang ke rumah, baru pulang dari kuliah di bogor, tolong doakan ya bu, biar selamat sampe rumah” jawab saya. tak lama saya pun turun dari angkot.
_________
Hari yang lain

Berdiri berjejalan dalam bis kota sudah jadi pemandangan umum di kota besar. Saat ini di depan mata saya banyak penumpang pria yang sampai hati membiarkan seorang ibu kerepotan membawa dua anak kecil dengan posisi berdiri. Satu tangannya tetap berpegangan pada senderan kursi, sementara tangan yang lain memegang tangan anaknya. Tak tega melihatnya, dengan cepat saya berdiri untuk mempersilahkan ibu itu duduk. Dengan tidak berkata sepatahpun, saya hanya mencolek tangan ibu tersebut.

“Makasih ya mas…” ucapnya.

Waduh… kok dibilang mas, mau menjelaskan sepertinya ga penting deh, lagi pula sebentar lagi saya harus turun. Hanya sempat senyum saja, menanggapi ucapan termakasihnya. Kemudian saya turun di sebuh halte.

Sementara tujuan masih jauh, harus beberapa kali lagi menyambung angkot, dan terakhir naik ojek. Saya mulai mengamati penampilan diri sendiri kali ini, celana jeans belel gombrong yang sudah ada sobekan kecil di bagian tumitnya, sweater abu-abu, dengan kemeja putih garis-garis didalamnya, plus tak ketinggalan topi pet jeans (bergambar logo MTv), sepatu All star yang warnanya sudah tak jelas lagi. Mungkin penampilan ini yang jadi penyebab saya dipanggil mas oleh ibu tadi. Masa sih…tampang saya, tidak ada cewek-ceweknya banget.

Ah…biar sajalah…, selama saya tidak merugikan orang lain, kenapa pusing.
Mulai terasa agak haus, saya mencoba memanggil pedagang asongan di sekitar halte. Seorang bapak menghampiri.

“Mau beli apa toh mas? Rokok atau minum?” tanyanya
Duh…, dua kali dipanggil mas hari ini. Sambil nyengir saya jawab bapak itu

“Mau beli minum.” Jawab saya
“Adek ini perempuan apa laki?” tanyanya lagi, sambil menyerahkan sebotol minumam dingin pada saya.

“Perempuan pak, memangnya kelihatannya saya seperti apa pak?” Tanya saya penuh selidik, sambil meneguk isi botol

“ Oh… walah…., saya kira laki-laki, lah wong rambutnya pendek, pake topi, badannya juga kaya laki, tapi saya penasaran denger suaranya kok kaya perempuan, makanya saya Tanya. Adek ini perempuan apa laki. Maaf ya dek, kalo saya tadi salah panggil” jelas bapak itu dengan malu-malu

“ ga apa pak, hari ini bapak orang kedua yang manggil saya ‘mas’, tadi di bis juga saya dipanggil mas.” Saya menjelaskan sambil nyengir garing.

Angkot yang ditunggu akhirnya kelihatan juga, dengan berbegas sayapun berdiri, siap-siap menyetop angkot. Siang panas begini mana betah lama-lama nongkrong di halte Cililitan. Goshong booo..

“ Ayo..mas, masih kosong…, centex…centex…., klapadua –klapadua.” Teriak supir angkot sambil melambaikan tangannya ke arah saya.

What…. tiga kali dalam sehari saya dipanggil mas (kaya minum obat aja). Sekali lagi dipanggil mas, besok saya bakal pake kaus dengan tulisan ‘100% wanita tulen’.