“Loh, pak ini angkot mau kemana? Kok arahnya ke sini?” Tanya saya saat melihat angkot yang saya tumpangi berbelok ke arah yang tidak seharusnya. Biasanya dari Sukasari, angkot seharusnya bergerak lurus ke arah Tajur. Dari Ciawi kemudian melanjutkan naik angkot ke arah Cibedug. Tapi kali ini angkot berputar ke arah Batu Tulis, kemudian melewati kuburan China, dan keluar di daerah Rancamaya. Arahnya jauh melenceng dari tujuan semula.
“Arah ke Ciawi macet banget, neng. Angkot juga lagi demo. Karena ada rencana trayek baru.” Jawab sang supir.
“Neng turun di sini trus nyebrang, nanti nyambung naik angkot turun di Truba naik ojeg ke Cibedug. Atau naik bis yang arah ke Sukabumi. Angkot agak jarang, karena kalo narik bisa ditimpukin sama yang demo.” Tambah sang supir.
Akhirnya dengan terpaksa saya turun, bingung mau melanjutkan perjalanan naik apa. Janji datang jam 10 sudah lewat satu jam. Duh…, pastinya Ummi sudah menunggu saya. Alhamdulillah ada bis kea rah Sukabumi lewat. Sayapun naik. Sekarang berjaga agar bisa turun di Truba (masalah baru, karena saya tidak tau truba itu di mana). Bertanya sama kondektur bis, diapun tidak tau di mana Truba. Duh…., kok jadi repot begini.
Tidak menyerah, sayapun mencoba sms ke teman yang kebetulan rumahnya di Cigombong, menunggu lama tak juga dijawab. Tak juga putus asa, saya kirim sekaligus sms ke beberapa teman. Saat saya menunggu balasan sms, HP berdering.
“Assalamu’alaikum, Lis, sekarang sudah di mana kok belum sampe juga? Sudah ditunggu sedari tadi, segera ke sini ya…, jangan mampir-mampir dulu” Suara Ummi di sana
“Wa’alaikumsalam, Ummi…., Lis masih di jalan nih…, angkot lagi demo. Bentar lagi mungkin sampai.” Jawab saya, sambil sesekali melihat ke sisi jalan mencari tanda atau plang nama Truba. Perjalanan jadi tidak menyenangkan hari ini. Belum sempat menerima balasan sms dari teman-teman, HP saya Low batt. Astaghfirullah….., lengkap sudah.
Beberapa penumpang coba saya Tanya, tentang alamat truba. Berharap ada yang tau. Nihil, tak seorangpun yang tau di mana itu Truba. Tiba-tiba saja saya teringat rumah teman di Cigombong, akhirnya saya turun tak jauh dari rumahnya. Silaturahim sebentar dan bertanya tentang rute tercepat ke Cibedug. Nyasarnya cukup jauh. Pffffh… lelahnya, belum makan pula.
Kembali naik Bis kali ini kea rah Jakarta, turun di Truba (Alhamdulillah sudah mendapat info yang jelas dari teman). Naik ojeg, dengan harga yang fantastis menuju Cibedug. Aji mumpung si tukang ojek saat angkot demo.
Sampai di Rumah Ummi Arif, sudah jam setengah satu siang. Waktunya ngaji pekanan. Beberapa teman sudah hadir di lingkaran kecil kami.
“Dari mana aja, kok baru datang? Udah ditungguin tuh… sama Ummi. Eh…ngomong-ngomong selamat ya….” Seorang teman menyalami saya sambil mesem-mesem ga jelas
“Orang nyasar sampe Cigombong kok dikasih selamat. Gimana sih.” Sanggah saya. Setelah bersalaman sambil cupika cupiki, dengan semua teman dalam lingkaran, Ummi bicara.
“Lis, cepetan ke depan…, kerjain isian yang di papan tulis ya… kalau sudah selesai baru ke sini. Yang lain sudah mengerjakan tugas itu.” Kata Ummi.
“Baik Mi, tapi saya Sholat dulu ya…, tadi nyasar-nyasar ada demo angkot. Jadi belum sempet Dhuhur.” Jawab saya, sambil melenggang menuju tempat wudhu. Sementara beberapa teman memandang saya sambil senyam senyum aneh.
Selesai sholat, saya berjalan ke ruang depan. Ruangan kosong lainnya di rumah Ummi yang biasa di jadikan ruang pertemuan untuk syuro. Ruang kecil berukuran tiga kali tiga meter berlantai keramik putih tanpa karpet, yang dilengkapi white board besar di dindingnya. Saya pun duduk di depan papan tulis, mencoba menjawab quesioner. Sesekali terdengar ada suara pembicaraan antara Abi (suami Ummi Arif) dengan seorang tamu.
Saat saya sedang mengerjakan tugas, lewatlah seorang ikhwan (tamu Abi). Tapi saya yang sedang serius mengerjakan tugas tidak begitu memperhatikan siapa yang lewat. Hanya kelebat bayangan orang saja yang terlihat. Selesai mengerjakan tugas sayapun kembali dalam lingkaran. Kali ini Aisyah (teman ngaji saya) tambah lebar nyengirnya.
“Gimana tadi?” tanyanya penuh selidik. Sambil mengedipkan matanya.
“Gimana apanya? Udah selesai nih ngerjain tugasnya.” Jawab saya polos sambil menyerahkan selembar kertas kepada Ummi.
“Ih… bukan itu…” Sanggah Aisyah, wajahnya tampak tidak puas dengan penjelasan saya.
“Apanya? Kan sama-sama ngerjain isian yang di papan tulis.Memangnya ada yang lain?”Tanya saya bingung.Ummi Arif pun menengahi
“Sudah…sudah…, kita lanjutkan saja ngajinya ya…” pertanyaan sayapun menggantung dan tidak dilanjutkan.
---------
Ba’da maghrib di rumah, HP saya berbunyi. Dari Ummi Arif. Saya angkat sambil berjalan ke halaman rumah, karena di dalam kamar signalnya putus-putus.
“Assalamu’alaikum Mi, ada kabar apa mi? Kok pake telepon segala, kan tadi juga dari rumah Ummi? Ada yang kelupaan ya…?” Tanya saya
“Wa’alaikumsalam Lis. Tadi ngerti ga kenapa disuruh datang lebih awal, dari teman-teman?” pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan. Waduh… kok aneh nih.
“Wah…, saya ngga ngerti Mi, kalau sekedar mengerjakan tugas di papan tulis tadi, kalau sekedar mengerjakan tugas tadi sih, seharusnya bisa aja barengan dengan yang lain. Toh teman-teman juga ngerjainnya sama-sama. Alasan lain saya ga tau, memangnya ada apa sih Mi?” Jawaban sekaligus pertanyaan baru dari saya
“Lis, tadi pas ngerjain tugas di depan liat ada orang yang ngobrol sama Abi ga?” Tanya ummi lagi. Tetap pertanyaan dijawab dengan pertanyaan baru lagi.
Waduh… makin bingung saya, sepertinya Ummi ada yang mau disampaikan tapi kok ya muter-muter seperti ini.
“Tadi sih denger Mi, kayanya ada orang yang ngobrol sama Abi di ruang tamu. Cuma saya ngga tau siapa.” Jawab saya jujur
“Jadi tadi Lis, engga lihat wajah orang yang lewat itu?” Tanya Ummi lagi.
“Ih…Ummi gimana nih…, katanya ke depan disuruh ngerjain tugas. Ya… saya Cuma kerjakan tugas aja. Memang sih..ada Ikhwan lewat gitu. Cuma saya ga lihat mukanya. Kan lagi serius ngerjain Quiesioner dari Ummi. Beneran ga liat mukanya, memangnya ada apa Mi?” Jawab saya, yang tambah bingung. Perasan mulai agak tidak nyaman nih.
“Gini deh, to the point aja. Tadi Itu, Ikhwan yang mau dikenalin sama Lis. Biodata Lis sudah ada di Ikhwannya. Nah…tadinya Ummi mau kasih biodata itu Ikhwan, tapi Abi lupa kasih ke Ummi. Di email saja ya.” kata ummi menjelaskan.
Deg…. Jantung serasa berhenti berdetak. Ya Allah…, ternyata itu yang membuat teman ngaji senyam senyum plus mengucapkan selamat.
“Oh … begitu….. boleh deh Mi, dikirim via email saja. Berhubung dua pekan yang akan datang baru bisa hadir lagi ke tempat Ummi, karena pekan depan mau ke Jawa Timur sama Bunda.”Jawab saya
Singkat cerita, Biodata Ikhwan tersebut tidak kunjung sampai juga. Entah alamat email yang salah spelling atau apalah saya tidak mengerti. Beberapa hari kemudian Ummi dan Abi silaturahim ke rumah, bertemu dengan Bunda. Karena mumpung Bunda ada di Indonesia, sekaligus pendekatan untuk rencana ta’aruf nanti.
Setelah menerima kunjungan Ummi & Abi, Bunda curiga, dan mencoba menebak-nebak ada apa dibalik kunjungan tersebut. Saya tetap belum mau menjelaskan, karena biodata ikhwan belum ditangan. Sementara teman ngaji sudah mulai kasak kusuk mengadakan pendekatan kepada Bunda (kebetulan teman ngaji sangat dekat dengan keluarga). Sampai pada satu saat, isu itu terdengar dan terbaca oleh ibunda yang agak anti dengan kegiatan pengajian saya.
“Kamu itu bagaimana sih Nduk? Lah wong ketemu sama orangnya saja belum, kenal saja belum, kerja dimana, anaknya siapa, bagaimana akhlaknya, lah kok mau dijodohin sama kamu terus kamunya mau saja piye toh?” Bunda mengungkapkan kekesalannya.
Saya berusaha menjelaskan, tahapan Ta’aruf itu seperti apa kepada bunda, tapi sepertinya bunda tidak mudah mengerti begitu saja.
“Tinggal kamu anakku yang belum menikah, pokoknya kamu harus nurut apa kata bunda. Wis… toh, jodohmu biar bunda yang cari. Ga percoyo aku sama jodoh dari temen ngaji mu itu. Ndang lihat kakak-kakakmu, hidupnya susah semua. Cuma satu orang saja yang bisa hidup senang. Lainnya apa…, susah semua. Aku ndak mau koe koyo ngono nduk.” Tambah Bunda lagi.
Semakin sulit rasanya saya bersikeras melanjutkan proses ta’aruf. Bingung harus bagaimana menjelaskan ke Ummi dan pihak Ikhwan.
Ya…Robbi, hamba mohon petunjuk-Mu, jika memang ini bukan jodoh hamba. Ikhlaskan hati ini untuk menerima keputusan bunda untuk tidak melanjutkan ta’aruf ini.
Beliau tidak setuju saya dijodohkan, dengan orang yang belum dikenal dengan baik. Bagaimana mau mengadakan pendekatan ke orang tua, biodata si Ikhwan saja tidak tau. Apa yang harus saya sampaikan benar-benar tidak ada bahan. Yang ada saya jadi bulan-bulanan dicomplain bunda. Menurut sumber yang dipercaya, si Ikhwan sudah berharap banyak pada saya. Ikhwan tersebut sudah mantap hatinya, hasil istikharah sekian lama.
Beberapa kali Ummi juga tetap mencoba untuk melaksanakan ta’aruf, dan melakukan pendekatan pada bunda, tapi Allah berkehendak lain. Terbukti dari nyasarnya saya hari itu, tidak melihat wajah si ikhwan, biodata yang tidak kunjung datang ke alamat email saya, sampai dengan sikap bunda yang tidak setuju 100%. Duh…., dengan berat hati mencoba menjelaskan tentang sikap bunda ke Ummi. Berharap semoga Ikhwannya mengerti dan memaafkan saya. Yakin, saja. Mungkin ini belum jodoh dari-Nya. Yakin saja, bahwa si Ikhwan nantinya akan mendapatkan akhwat yang lebih baik dari saya, begitupun sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar