Pagar tetangga
Penasaran melihat orang yang naik motor dengan nyantainya, berseliweran di depan rumah, di jalan, bahkan banyak pula anak-anak usia sekolah dasar mahir mengendarai motor. Sayangnya saya belum cukup berani untuk belajar naik motor. Sekedar naik sih sering, mbonceng sama tukang ojek. Tapi untuk mengendarai sendiri, jujur belum pernah. (hari gini…, masih ada orang yang ga bisa naik motor) ada kok, ya…saya.
Mulai lirik-lirik motor di kantor, untuk sekedar belajar menstarter motor dalam posisi standar terpasang, mencoba nge gas (agak berisik), kemudian mematikan lagi motornya. (norak banget ya). Sampai satu saat, kakak ipar saya membeli motor “bodong” yang tampangnya saja sudah tidak jelas, motor merek apa, keluaran tahun berapa, sayap motornya sudah tidak ada, begitu pula tutup mesin di bawah stang, kabelnya semrawut. Cocoknya masuk museum ini motor. Berkat dikomporin kakak dan orang sekitar, sayapun memberanikan diri untuk belajar motor.
Saya mencoba memasukkan gigi, dan nge gas pelan-pelan. (memang motornya sudah tidak bisa ngebut). Saat akan berhenti sayapun gugup, rem tangan kok ga pakem, alias masih saja si motor jalan terus. Dicoba rem kaki, juga sama kondisinya. Duh…. Mulai panic nih. Terpaksa saya arahkan motor ke pagar tembok milik tetangga. Brukkh… wadaw….(kaki tergencet, antara pagar dan motor) sakitnya ampun-ampun. Tulang kering membiru, memar. Belum kapok juga beberapa kali saya ulangi. Jalan belok, dan berhenti dengan sasaran pagar rumah orang yang lain. Pfffffh… maaf ya pak.. bu… numpang ngerem, Alhamdulillah pagarnya tetap berdiri kokoh, tinggallah kaki saya yang bonyok-bonyok.
--------
Ternyata berat
Merasa diri sudah pernah latihan motor di rumah, kali ini saya agak percaya diri untuk pinjem motor kantor. Mumpung mobil di parkiran kantor lagi sepi, sayapun memberanikan diri menyalakan motor (padahal pakai baju gamis) dan nge-gas perlahan. Sekedar info saja, saya tidak pernah berani dalam posisi gigi satu, karena sering lompat-lompat trus gubraks….(jatuh deh). Langsung gigi dua, saya mencoba mengitari parkiran yang cukup luas.
Tidak puas di parkiran, lanjut ke luar agak menjauh dari kantor. Jalan setapak yang cukup sepi. Sampai di ujung jalan mencoba membelokkan motor. Tapi tidak berhasil. Motorpun saya matikan dan mencoba membelokkan motor dalam posisi mati. Ternyata Masya Allah…, motor itu ternyata bueraaaaat…, alih- alih membelokkan motor, saya jatuh terjerembab bersama si motor dengan posisi, kedua tangan di atas tanah becek, lutut kepentok body motor. Duh…., semoga ga ada yang lihat tadi. Baju belepotan kena tanah, lutut berasa senut-senut, kedua telapan tanganpun tak luput dari beceknya tanah. Motornya “fine-fine” aja tuh. Habis jatuh, lutut masih gemetaran, tangan masih belepotan tanah. Mau angkat motor, takut jatuh lagi. Alhamdulillah datanglah pertolongan, ada tukang jualan pikulan lewat.
“ Pak, maaf pak, minta tolong dong pak, tolong berdiriin motornya, saya ga kuat.” Pinta saya. Bapak itu melihat saya melas, pastinya liat baju dan tangan saya yang masih belepotan tanah.
“ Baru belajar motor ya mba?” Tanya si bapak, sambil menaruh pikulan daganggnya, kemudian mencoba mengangkat dan menegakkan posisi motor. Setelah motor itu berdiri, bapak itu mendorong motor mendekati saya berdiri
“Hati-hati mba, jangan sampai jatuh lagi. Itu bajunya bahaya, takut keserimpet ntar.” nasihatnya.
“Iya pak, makasih banyak ya pak…” jawab saya. Dalam hati bersyukur, pertolongan Allah datang di saat yang tepat.
-------------
Katulampa “We are Coming”
Setelah kejadian jatuh dari motor, apakah saya kapok??? Ternyata tidak. Kali ini saya tidak tanggung-tanggung belajar motornya. Berbekal motor baru (baru nyicil pula), saya membonceng calon adik ipar (Ratih) untuk pergi ke SKI Katulampa (toko tas ternama di bogor). Padahal seumur-umur belum pernah naik motor yang jaraknya lebih dari 100 meter. Ini bisa dibilang berani bin nekat. Ratih juga tenang-tenang aja tuh, belum tau kalau saya masih dalam taraf belajar motor.
Kami berangkat dari rumah kakak (pamikul), jam 8 pagi. Hari minggu biasanya jalan masih sepi, jadi cukup aman untuk pemula seperti saya. Konvoi dua motor, saya membonceng Ratih, sementara mba Susi dibonceng suaminya (Nadin ponakan juga ikut). Bissmilahi majreha….wa mursaha ina robbi la gofururrohiim.., semoga selamat pulang pergi. Dalam hati saya hamper ciut, takut kenapa napa di jalan. Apalagi mbonceng anak orang. Alhamdulillah jalan benar-benar sepi, lebih banyak yang berjalan kai menghirup udara yang masih segar. Maklum Bogor masih adem ayem tentrem kalau pagi begini.
Sengaja kami mengambil jalan alternative, bukan jalan umum yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, tapi justru jalan yang cukup lebar sepi pemakai. Dari pamikul, kami belok kiri kea rah Cimahpar, di perempatan kami lurus ke arah Kampus Universitas Pakuan, jalannya memang sepi dari angkot. Jalan mulus dan bagus biasanya jadi ajang kebut-kebutan, makanya jalan yang saya lewati banyak poldur (polisi tidur), biar ga pada benjut kalo ngebut. Saya yang masih pemula urusan motor, setiap melewati poldur, ga bisa ngerem. Tapi bablas… saja. Tinggal Ratih yang teriak-teriak dan latah “eh kodok-kodok” , tiap poldur jadi berasa ketemu sama banyak kodok (maaf ya dek…). Sekalinya saya coba ngerem, nyaris nyusruk karena motor ga mau digas setelah sempat direm, tapi justru oleng kekanan dan kekiri.
Mba Susi, Rus dan Nadin jadi terhibur ada lawak dadakan di tengah jalan. Ya…saya ini. Mereka ketawa ketiwi, tega. Melihat adiknya belajar motor, dengan membawa korban pula (Ratih dengan “kodoknya”). Jarak yang sebetulnya dekat, jadi terasa jauuuuh…sekali. Karena tiap ketemu perempatan saya sutressa bukan main. Sementara jalan mulai ramai dengan kendaraan. Rus sering mendahulukan saya, agar bisa lewat lebih dulu. Setelahnya baru dia yang lewat (baiknya…, makasih ya pak).
Ah…akhirnya sampai di Katulampa, tapi bahaya nih, jalan masuknya turunan yang cukup curam, bisa-bisa saya nyungsep zep. Nyaris nabrak mobil saat saya mencoba menuruni jalan itu. Untung saja pengemudi mobilnya orang baik. (maaf ya Om…). Alhamdulillah…, sampai di tujuan dengan selamat sentosa.
Saat yang menakutkan itu tiba, pulang agak siang, kendaraan mulai padat merayap. Saya yang agak paranoid, harus mengendarai motor disela-sela mobil. Duh…, bisa ga ya??? (agak pesimis). Kadang mata saya merem sangking takutnya, takut nyerempet mobil orang. Kok aneh ya…malah merem. Allah masih sayang sama saya, saat harus lewat di sela-sela mobil dengan mata kadang merem melek karena takut, dan selamat…., tidak menggores sedikitpun mobil di samping kanan kiri saya. Tinggal pasukan “kodok” diboncengan saya makin banyak.
Tiba di satu tikungan dimana saya harus menyebrang, sementara diseberang sana ada polisi berdiri. Waduh…. deredeg, jantung saya seketika. Tidak punya sim pula, bagaimana kalo tiba-tiba saya malah nabrak. Akhirnya Rus jalan lebih dulu, berhenti tidak jauh dari pak Polisi, entah apa yang dibilang Rus ke Polisi itu, tiba-tiba saja polisi itu menyetop mobil akan menyeberang jalan, memberi saya ruang untuk bisa jalan lebih dulu. Waduh…, baik sekali pak polisi itu.
“Makasih ya pak…,” saya mengucapkan sambil setengah teriak. Pak polisi itu Cuma mesem. Moga amal ibadah pak polisi diterima (loh…)
Berkali-kali saya tidak berhasil ngerem, akhirnya saya complain ke Rus, untuk disetel remnya, supaya saya bisa ngerem. Setelah istirahat sebentar, sambil setel rem. Nadin terus meledek saya.
“Amah…, amah lucu amat sih naik motornya. Kaya mau nabrak gitu.” Nadin ngeledek sambil sesekali cekikikan.
“Yah…Nadin, namanya juga baru belajar.” Jawab saya sambil melihat ekspresi Ratih, yang matanya mulai melotot.
“Mba, jadi baru belajar motor?” Tanya Ratih bingung.
“ Iya, ini pertama kali naik motor agak jauh. “ jawab saya sekenanya, diiringi suara tertawa Nadin dan Mba Susi.
“Wah…tau gitu, ratih ga mau dibonceng.” Jawabnya kecut.
“Lah… dah tanggung Tih, tadi kan buktinya selamat sampai tujuan. Walau banyak kodok dimana-mana.” Jawab saya sambil cengengesan.
Setelah rem disetel ulang, saya mencoba dan berhasil ngerem tanpa nyusruk. Semoga kodoknya Ratih berkurang.
Memasuki kawasan Bantarjati yang ramai angkot, pas di perempatan jalan, arah yang harus saya ambil menyebrang sekaligus belok kanan, dengan posisi menanjak pula. Titik yang mengkhawatirkan bagi saya. Bismillah…., berhasil menyebrang jalan, tiba saat tanjakan motor yang saya kendarai tidak mau jalan juga. Tapi justru oleng ke kanan dan akhirnya membentur trotoar pembatas di tengah jalan. Motorpun nyaris jatuh, begitu pula dengan penumpangnya. Ratih dengan sigap segera menginjak rem.
Sementara saya masih bingung mengendalikan motor supaya tidak rebah ke aspal. Jadilah saya dan ratih tontonan gratis. Banyak yang mesem-mesem kasian, tapi ada juga yang ketawa ngakak (teganya). Kami berduapun akhirnya ikutan juga ketawa. Baru tersadar bodohnya saya, harusnya pas tanjakan pindah gigi satu (maklum, phobia gigi satu).
Rumah sudah dekat, tapi Ratih memilih jalan kaki sampai ke rumah (kapoknya telat). Sementara saya lagi-lagi belum kapok juga, habis nyusruk naik lagi deh ke motor untuk pulang ke rumah dengan selamat.
Selang sebulan, Ratih saya ajak lagi ke Katulampa padahal becanda, tapi bisa ditebak jawabannya. Dia bilang begini, “Ga mau ah mba, kalo harus dibonceng sama mba,” penolakan yang sangat jujur (Teganya)
--------
Musuh itu bernama “REM”
Setelah kejadian pasukan kodok, motor baru (yang baru nyicil pula) akhirnya dihibahkan ke adik. Alasannya karena dia lebih butuh dibanding saya. Lagipula sayang alias mubazir, punya motor ga pernah dipakai. Kalaupun saat weekend, ada motor suami. Kan ga mungkin kami naik motor sendiri-sendiri, nanti dikira tukang ojek.
Pindah ke Cikarang, menjadikan saya harus bisa naik kendaraan sendiri misalnya motor atau mobil. Karena kondisi rumah yang jauh dari peradaban (alias jauh dari mana-mana), tidak ada angkutan umum yang masuk keperumahan. Kalaupun ada jarrraaaang sekali. Angkutan utama adalah ojek (minus rem), karena tiap lewat poldur ga pernah ngerem tuh si tukang ojek.
Berhubung dirumah ada motor jaman baheula, yang lumayan masih bisa jalan. Maka saya pun memberanikan diri untuk naik motor. Saat itu saya sedang sakit gejala typus (ini sakit-sakit nekat). Reflek agak berkurang, jalan juga masih sempoyongan. Berkali-kali suami coba mengingatkan untuk tidak naik motor dulu. Sayanya bandel. Tetep kekeuh surekeuh (ngotot), ingin naik motor. Iffa dalam gendongan ayahnnya, sementara saya naik motor sendiri.
Saatnya tanjakan. Motor agak oleng kekanan dan ke kiri. Karena takut nyusruk, saya coba ngerem. Tapi kok ga berhenti juga motornya, saya injak sampai pol, tidak bergeming. Jurus terakhir, rem tangan. Tapi ternyata rem tangannya dol. Ga ngaruh. Motor semakin oleng, sementara jalan menanjak. Akhirnya motor jatuh, bersama penumpangnya. Kepala membentur aspal, kaki terjepit diantara body motor. Rasanya kejadian begitu cepat. Saya ga ngeh bagaimana kok sampai bisa jatuh. Tersadar dengan posisi tubuh miring kekiri, dengan motor yang masih hidup.
Suami setengah berlari menghampiri saya, diturunkannya Iffa dari gendongan. Kemudian segera mematikan motor.
“ Astaghfirullah…, Ibu…kok bisa jatuh.” tanyanya sambil membimbing saya untuk berdiri.
“Ga tau, mau nge rem malah jatuh, rem tangan juga ga bisa.” Jawab saya sambil menahan sakit
“ Maaf, ayah lupa kasih tau kalau rem tangannya memang rusak, tapi rem kaki masih bisa kok.” Jelasnya lagi. Sambil mencoba menghidupkan motor, dan mencoba rem kaki.
“Ini bisa kok bu, memang harus dalam nginjaknya. Ya sudah, jangan naik motor lagi ya. pokoknya ibu ga boleh naik motor. Ayah trauma liat ibu jatuh barusan.” Pintanya dengan wajah melas, liat saya yang masih meringis nahan sakit.
Sambil mengendong Iffa, kamipun pulang. Yang jelas, saya dilarang keras sama suami untuk naik motor. Saya heran, kok malah suami yang trauma liat saya jatuh dari motor, sementara saya belum juga kapok (walau kepala benjol, pundak memar, kaki dan tangan lecet-lecet).
Namanya belajar, wajar toh jatuh dan jatuh lagi. Anak kecil saja saat belajar jalan, berulang kali harus jatuh sebelum dia benar-benar bisa berjalan tegak di atas kakinya. Cukuplah ambil hikmah dari setiap kejadian, bahwa belajar memang ada saatnya terjatuh, bangun, kemudian jatuh lagi. Kita hanya bisa berjaga-jaga agar saat terjatuh, tidak parah efeknya. Atau bahkan bisa diminimize dengan memperhatikan kendaraan yang akan kita bawa, sudah safety atau belum. Jika belum yakin, amannya jangan, daripada fatal akibatnya. Tersadar saya akan musuh utama saat naik motor, musuh itu bernama REM. ^_^
wah..Mbak semakin kuatir aja deh....kisah ini akan terualng ma Iffa....,
BalasHapus