Kamis, 23 Mei 2013

Trouble is a friend..

Benar ngga? Siapa yang setuju? Kalau saya sangat tidak setuju. Kok, seperti jawaban test jaman baheula. Eh, tapi bener loh. Teman itu menurut saya, adalah cermin. Ya, cermin kita. Bagaimana teman, itulah kita. Teman bukan sumber masalah, tapi sebaliknya. Teman adalah sosok yang sangat diperlukan, dibutuhkan, untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Mirip-mirip dengan pemikiran di bawah ini. ‘Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berkaitan. Dengannya Allah persatukan hati-hati berserakan. Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami, saling mencintai dan saling berlembut hati’ - Sayyid Quthb.

Minggu, 13 Januari 2013

Uang di mata Krucil

Pagi tadi terjadi dialog singkat tentang uang. "Ibu kalau ini berapa?" sambil menunjukkan lembar lima ribuan. "Lima ribu." "Bisa dapet berapa?" tanya ndut lagi "Kalau di sekolah,dapet dua gelas teh manis." "Kalau ini?" gantian menunjukkan uang duaribuan "Dua ribu." "Bisa dapet berapa?" ndut nunjukin sampe itu duit, nyaris nempel di hidung lis. "Segelas teh manis." "Ya udah, aku mau yang ini aja. biar dapet dua gelas." sambil ngambil lembar 5rb, yang 2rb digeletakin aja di kasur. Kedua anak saya memang tak kenal dengan uang. Artinya mereka belum dibiasakan mengerti nilai uang. Bahkan jika ada saudara yang memberi mereka uang, seringkali uang itu raib entah kemana. Lupa meletakan, atau terjatuh. nominal kecil tak masalah, sayangnya lembar seratus ribu pernah juga hilang saat mereka pegang. Hiks... sayang bener kan. Tau begitu, disimpan emaknya. Belum lama ini saya sediakan celengan tempat mereka menyimpan uang. Jika ada koin, atau lembaran uang yang diberikan pada mereka berdua. Cepat akan dimasukkan dalam celengan. Sekarang, efek terkontaminasi sekitar. Krucil jadi minta uang untuk beli makanan atau minum di sekolah. Karena teman sekolahnya ada yang dibekali uang.

Senin, 08 Agustus 2011

Rindu Rasul - Kapok Pasang Poster


Jadwal pengajian pagi, alias mentor memenuhi mata kuliah Agama Islam semester satu. Hari ini rasanya malas betul untuk tetap terjaga setelah semalaman begadang mengerjakan laporan praktikum Kimia Dasar. Inginnya kembali menarik selimut dan melanjutkan mimpi. Alih alih tidur pulas saya harus bergegas mempersiapkan acara mentor karena kali ini mendapat giliran menjadi tuan rumah.

Mentoring dimulai dengan membaca Basmalah, tilawah Qur’an bergantian, dan diisi dengan penyampaian materi tentang Ma’rifaturrasul. Saya sempet degdegan pas mendapat jatah membaca Al Qur’an. Maklum, sekedar membaca bisa, tapi tajwidnya ampuun, banyak salah. Keringat dingin mengucur saat mendapat giliran tilawah. Tiba-tiba saja suara jadi menghilang, sindrom mentoring.

Setelah tilawah, mulailah mba Tri mengisi materi. Saya terkantuk-kantuk mendengar suaranya yang halus, merdu. Hm, ingin tidur lagi rasanya. Dasar murid mentor bandel. Entah sudah tertidur sepersekian menit, tiba-tiba saya dikagetkan dengan pertanyaan mba Tri.

“ Lis, itu poster siapa?”Tanya mba Tri, sambil menunjuk ke arah poster besar tepat di depan pintu kamar saya. Poster berukuran 1m x 1,5 m, gambar Axl Roses, vokalis dari grup music Gun’s and Roses.

“Hm, itu poster punya saya mba,” Jawab saya gelagapan, sambil berusaha melotot. Mendadak rasa kantuk saya hilang.
“Idolanya Lis, ya?” Tanya mba Tri lagi tetap dengan nada yang datar dan senyum di bibirnya.

“Ya, gitu deh mba, seneng aja sama lagu-lagunya. Sama orangnya juga abis cakep sih, keren banget, macho.” Jawab saya polos, duh kok ya pede banget jawabnya kaya gitu. Keceplosan euy.

“Oh, jadi idolanya si Axl Rose itu ya? Apa Lis juga tau dia agamanya apa, bagaimana akhlaknya, apa dia memang benar-benar patut menjadi idola? Mau tau engga sosok yang pantas dijadikan idola.” Pertanyaan Mba Tri banyak bener. Membuat saya semakin bingung.

Jadi penasaran. Sebetulnya siapa sosok yang pantas dijadikan Idola, bahkan oleh jilbaber sekelas mba Tri. Fikiran saya mulai menebak-nebak siapa sosok itu.

“Mba, sebenarnya siapa sosok yang pantas kita idolakan?” Tanya saya dengan penasaran.

“Beliau sosok yang sangat mulia, akhlaknya seperti Al Qur’an berjalan. Jika ingin tau banyak mengenal sosok beliau, baca deh buku ini. Setelah kajian ini selesai, Lis boleh pinjam.” Mba Tri menunjukan buku yang sedari tadi dijadikan panduan untuk mengisi mentoring. Buku tebal berjudul Sirah Nabawiyah.

Mulai saat itu saya belajar mengenal sosok Rasulullah lewat berbagai cara. Dimulai membaca sirah nabawiyah, rajin mengikuti kajian keislaman, sampai dengan mengoleksi berbagai buku tentang kehidupan Rasulullah dan para Shahabat. Sampai pada satu saat. Saya membaca tentang Rasulullah saat berdakwah ke Thaif.

Saat berdakwah, tak seorangpun dari pemuka kota Thaif menerima beliau, bahkan Rasulullah diusir dengan sangat kejam. Ketika Rasulullah akan keluar dari kota tersebut, orang-orang memaki, mengusir, dan melempari dengan batu sehingga kedua sandal beliau berlumur darah. Zait bin Haritsah melindungi beliau dengan memasang badan, sampai kepalanya terluka oleh lemparan batu.

Menerima perlakuan ini Rasulullahpun berdoa “Wahai Tuhanku, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhannya orang-orang yang lemah dan Engkaulah tuhanku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkam aku atau kepada keluarga yang Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap dan atas-Nyalah teratur segala urusan dunia dan akhirat. Dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahan-Mu atau dari Engkau turun atasku azab-Mu. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Engkau”

Mendengar doa yang dipanjatkan Rasulullah, Allah mengutus malaikat Jibril a.s. untuk menemuinya. Setibanya dihadapan Nabi, Jibril a.s. memberi salam seraya berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.” Sambil berkata demikian Jibril memperlihatkan para malaikat itu kepada Rasulullah saw.
Kata malaikat itu, “Wahai Rasulullah,apa yang engkau kehendaki? Jika engkau mau, aku akan balik dua gunung Akhsyabain dan menimpakan kepada mereka, yaitu gunung yang mengitari Mekkah?”

Rasulullah menjawab, “Tidak, aku hanya berharap Allah Azza wa Jalla menciptakan keturunan mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”

Subhanallah, begitu besar rasa kasih sayang Rasulullah terhadap kaum yang jelas-jelas menolaknya. Beliau tidak marah, justru mendoakan agar keturunan mereka nantinya mendapat hidayah dari Allah. Membacanya, menjadikan diri ini semakin merindu kepada sosok Rasulullah. Malu mengaku diri sebagai umatnya tapi tak mengenalnya dengan baik.

http://zhaaid.multiply.com/journal/item/111/Lomba_Menulis_Rindu_Rasul?replies_read=71



Minggu, 06 Maret 2011

Wiskul ke Bandung

Rencana Rihlah dari bulan Desember lalu yang sempat tertunda akhirnya jadi juga. Ditemani gerimis pagi, yang membuat sebagian orang enggan beraktifitas justru saya dan Rif’an harus siap-siap berangkat.

Tunggu punya tunggu, sudah jam delapam kurang, masih satu mobil yang datang. Satu lagi OTW, sedih dengar beberapa teman tidak bisa ikutan rihlah kali ini. Ada yang sakit dan harus bedrest total, ada yang baru melahirkan putranya, ada juga karena anaknya sakit. semua yang batal ikut 5 orang. Wedeh.. sedikit dong yang rihlah kali ini. Alhamdulillahnya, saya dan dua keluarga lainnya bawa anak-anak, jadi tidak terlalu sepi.

Rute pun ditetapkan oleh kepala suku Rihlah kali ini, tujuan pertama adalah Mie Baso Akung, lanjut ke Primarasa, Setelah itu ke Masjid Salman untuk sholat Dzuhur, cari oleh-oleh ke Kartika Sari, cari oleh-oleh lagi ke Amanda, Silaturahim ke DT sekalian sholat asar, makan sore dan pulang…
Bener-bener niat Wiskul deh…

Siip…lah kalau begitu, Bandung… we’re coming…
Baru Km 50 an, sudah mulai merayap, weleh..weleh… si Komo mau ke Bandung juga nih? 

Teman segera cari info ada apa kok baru km sekian sudah padat begini, ternyata ada kecelakaan di Km 71. Efeknya sampai ke km 50. Parrah bener. Yowis… dinikmati saja, macet-macet. Takjub melihat kakak-kakaknya, Rifan hanya bisa memandang mereka, tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut mungilnya. Setiap di tawari makanan selalu dijawab dengan anggukan kepala. Pagi ini, sarapan menu ‘special’ sekotak coklat, beberapa butir permen jelly, dan sebungkus kerupuk Palembang. Itupun tidak mau berhenti makan permen, kalau saja tidak dialihkan ke hal yang lain. Pffffh… bakalan ga mau makan nih… 

Mendekati pasteur, Riffan seperti tidak bersemangat, bahkan nemplok dipelukan saya. Tidak seperti biasanya yang ceria, lompat-lompatan, berkicau sepanjang jalan. Walah… ternyata ngantuk berat dia. Jenuh tidak bisa pecicilan, bikin dia ngantuk. Ya sudah…tidur yang nyenyak ya nak. Sementara kakak2nya masih saja berteriak, menangis, bercanda, Rif’an tetap cool… pulesss.

Keluar tol Toha, kami langsung ambil kiri. Tiba di persimpangan lampu merah kami lurus (menyebrang) saat lampu hijau. Ternyata mobil harus berbelok kiri dulu, tidak boleh langsung lurus. Di depan sana sudah banyak pak Polisi. Sambutan unik nih…“selamat datang di Kota Bandung, dan anda kami tilang” hehehe…, jujur saja sebagai orang yang jarang ke Bandung agak bĂȘte juga, lihat rambu yang minim, dan polisi yang ‘galak’, pagi-pagi perut lapar sudah harus ditilang. Melayang 50 ribu deh (setelah diskon 50%).

Tujuan pertama adalah Mie Baso Akung yang terkenal itu. Menurut ceritanya mie basonya wuenak tenan…., porsinya super JUMBO. Kita cukup memesan ½ porsi pasti sudah kuenyang. Karena kemarin pas wiskul ga sempet potret2 ya..browsing deh… cari dokumentasi mie baso akung. (tq pak blognya)

Ini dia tempatnya si Mie Baso Akung itu. Bagunan rumah yang dimodif sedemikian rupa, ada kolam ikan kecil juga didalamnya. Bikin anak-anak kecil betah berdiri dipinggir kolam. Sambil nunggu pesanan datang.

Ini porsi setengah loh…, penasyaran porsi satu nya sebanyak apa.
Mie Yamin Baso Ceker, mie yamin ini diracik khusus sehingga bumbunya benar-benar merata ke seluruh mie sebelum sampai ke meja kita. Bisa memesan Yamin Manis, Sedang atau Asin, sesuai selera. Dan bagi yang tidak mempunyai usus yang panjang atau lambung yang cukup besar, saya sarankan untuk memesan 1/2 porsi saja, sudah sangat cukup koq. Karena jika kita satu porsi mie ini membutuhkan ruangan yang cukup besar di perut kita. Sebagai pendamping, tersedia pilihan variasi BPTSC (Baso - Pangsit - Tahu - Siomay - Ceker) yang disajikan dalam kuah dengan aroma yang "mengundang". Harganya bervariasi, yang paling mahal Rp. 19.500 (satu porsi mie + BPTSC), sedangkan untuk yang saya pesan sesuai gambar di atas harus ditebus senilai Rp. 12.500 (1.2 porsi mie + BC/Baso Ceker)

Pangsit Tahu Siomay, buat yang tidak terlalu gemar mie bisa "nambul" pendampingnya saja, mulai dari yang paling lengkap BPTSC. Kulit pangsitnya sangat lembut ditambah dengan isinya yang mantap patut anda coba, ditambah dengan tahu putih yang diisi dengan adonan baso dan siomay yang nendang, benar-benar bisa menghangatkan udara kota Bandung. Apalagi ditambah dengan sentuhan sambal & kecap... Hmmm... Harga: Rp 14.500,-


Es Teler Durian, sebenernya favorit dessert dari tempat makan ini adalah Es Durian, gambar di atas ini es teler durian. Isi er teller ini; kelapa muda, agar-agar, kolang-kaling dan tentu saja buah durian merupakan campuran dari minuman segar ini. Duriannya sendiri berbentuk gelondongan utuh. Tapi kalau anda datang di atas jam 2 siang, jangan terlalu berharap dapat menikmati es durian ini, biasanya sudah habis. Harga: Rp. 11.000,

Psst… saya ga pesen kok, karena tidak doyan duren. Ini biar bikin mupeng yang doyan duren aja. Xixixi..
Sesuai dengan dugaan awal, porsinya yang JUMBO ternyata tidak sanggup saya habiskan. Rifan juga tidak mau makan. Hanya makan segigitan baso saja. Selebihnya dilepeh (mungkin kebanyakan makan coklat)

Senin, 20 Desember 2010

Anniversary ke - 6

Beberapa tahun setelah kejadian ta’aruf yang gagal, karena tidak mendapat retu dari bunda. Saya kembali menjalani kehidupan seperti biasanya. Kerja, kuliah S-2, ngaji, aktif di kegiatan kepartaian, ikut kegiatan sosial sampai dengan aktif di Ziswaf daerah Bogor. Hari saya Full dengan kegiatan, menjadikan saya jarang berfikir ke arah pernikahan. Yakin, jika saatnya tiba Allah akan hadirkan jodoh yang terbaik untuk saya.

Akhir pekan ini saya dan beberapa teman diminta membantu acara khitanan masal dari seorang dermawan yang memiliki minimarket di Kota Bogor. Tenaga medis sudah dipanggil dari LKC (Lembaga Kesehatan Cuma-Cuma), lengkap dengan peralatan dan obat-obatan. Masih kurang beberapa orang untuk mengatur anak-anak yang akan dikhitan, dan perlengkapan lainnya. Dari mulai membuat daftar, mengabsen, membagikan bingkisan dan obat, sampai memegang si anak saat mau dikhitan, menjadi bagian dari tugas kami.

Senang, lucu, haru melihat anak-anak kecil yang selesai dikhitan. Ada yang menangis, ada yang cool abis, ada juga yang kaburr, karena takut. Yang lucu, si anak dermawan yang urutan absennya paling depan justru dikhitan paling belakang karena takut, melihat teman sebaya banyak yang nangis kejer.

Alhamdulillah acara berjalan lancar, semua anak akhirnya selesai dikhitan. Sambil istirahat, si dermawan sempat bercanda pada kami.

“ Ngomong-ngomong ini masih ada yang single ga? Soalnya saya punya adik laki-laki masih bujangan, pengen dapet istri yang pake jilbab panjang kaya gini.” Kata bu Sari
“Wah…kebeneran nih bu, dua temen saya masih single. Boleh tuh…kali aja jodoh.” Jawab Aisyah cepat, sambil mesem-mesem melirik kea rah saya dan May.

“ Minta nomor HP nya dong, nanti saya kasih ke adik saya. Biar kenalan gitu. Adik saya lulusan S-1 UNPAD, anaknya baik loh…” jelasnya sambil sedikit promosi.
Saya yang mendengar cuma cengar-cengir tidak serius menanggapi. Justru Aisyah yang semangat 45, memberikan secarik kartu nama yang agak lecek.

“Ini saja bu, ada nomor HP nya di situ. Semoga jodoh ya bu. Kalaupun bukan jodoh ya, nanti satu saat ibu butuh bantuan tenaga, kami siap bantu bu.” Balas Aisyah.
Tersadar bahwa itu ternyata kartu nama saya. Agak sewot juga melihat teman saya kok semangat sekali. Mencoba berbaik sangka, dan tidak ambil pusing masalah niat perjodohan itu. Ah…paling juga si ibu tidak serius menjodohkan adiknya.

Perkenalan
Seminggu setelah acara khitanan masal itu, bu Sari menelpon ke rumah. Mengabarkan bahwa nomor HP saya sudah disampaikan ke adiknya. Kabar tersebut tidak saya tanggapai dengan serius. Namanya juga orang mau kenalan. Toh belum tentu jodoh. Jadi santai sajalah.

Pulang kerja di sekitar UKI, saat saya akan menaiki bis jurusan Bogor yang sedang ngetem, HP saya berbunyi. Sebuah sms masuk.

“Assalamu’alaikum, nama saya Achmad adik dari ibu Sari di Bogor. Apa boleh saya telepon sekedar untuk berkenalan?”

Saya jawab sms itu

“Wa’alaikumsalam, boleh saja telepon. Tapi beberapa menit lagi setelah saya di dalam bis. Ini saya masih di jalan.”

Tetap berhuznudzon, memperluas silaturahim. Tidak punya niat apapun dalam menjawab telepon si Achmad ini. Benar saja, beberapa menit kemudian dia menelpon dan memperkenalkan dirinya.

Beberapa hari setelah Achmad telepon, bu Sari mengabarkan bahwa adiknya ingin bertemu secara langsung. Atas pertimbangan kakak, Murobbi, sayapun bertemu dengan Achmad yang tentunya ditemani oleh muhrim. Dia ditemani bu Sari dan anak-anaknya, saya ditemani Mba Salwa.

Perkenalan singkat itu ternyata berlanjut pada pertemuan yang lain. Kali ini, bukan saya yang menemui Achmad, tapi kakak ipar saya (Afiq). Afiq yang menjelaskan bagaimana saya dari A sampai dengan Z. Penjelasannya lebih ke arah, gambaran negative tentang saya. Kekurangan saya sebagai seorang akhwat berjilbab. Tidak pandai masak, bahkan mendekati tomboy, full aktifitas, pekerja kantor yang sering tugas keluar kota, masih kuliah juga, dan penjelasan detail mengenai gambaran saya sehari-hari. Saya selalu tampak jutek jika saat bertemu, maksud hati agar si Achmad tidak melanjutkan niatnya (dalam hati saya).

Membalas kunjungan Achmad, kami diminta oleh pihak keluarga untuk datang kerumahnya. Kedatangan kami yang tidak sesuai jadwal menyebabkan beberapa pihak dari keluarga tampak tidak suka. Termasuk bu Sari, yang biasanya sangat ramah, kali ini tidak menunjukkan hal tersebut. Saat bersalaman saja saya sempat canggung, mau cupika cipiki atau, tapi dengan melengos (pahit….). Karena dari sikap dan bahasa tubuhnya menunjukkan kurang simpatik. Rasanya seperti duduk diatas bara api.

Keluarganya lengkap berkumpul, membicarakan tentang rencana pernikahan. Saya tidak bicara sedikitpun, bingung. Apalagi semua anggota kelaurganya cukup vocal. Suasana hingar bingar, sampai kepala saya mendadak pusing, dada mulai sesak, seperti mau pingsan. Barulah menyadari, bahwa keluarga ini sangat care dengan urusan adik bungsunya (si Achmad ini), bahkan bisa dibilang anak kesayangan dari keluarga ini. Jadi wajar saja, bila harapan dari pihak kelaurganya pun sangat besar agar perjodohan ini berhasil.

Intinya mereka tetap berharap agar segera ditetapkan perkiraan pernikahan. Sementara saya masih berkelit akan menyelesaikan kuliah S-2 yang sudah dalam tahapan menyusun Thesis. Hal yang agak menyebalkan adalah, si Achmad tidak bicara sepatah katapun, mengenai keinginannya, harapannya, atau apapun yang ada di benaknya. Membuat saya semakin tidak yakin padanya. Bagaimana mungkin, dia tidak ada bicara sedikitpun. Padahal ini masalah masa depannya, mungkin dia tipe anak mami, yang tinggal tau urusan beres, sementara orang lain yang sibuk. Pfffh… satu lagi minus si Achmad, semakin memperkuat keputusan untuk mundur.

Maju mundur
Kabar tentang Achmad pun sampai ke Bunda yang sedang bertugas sebagai perawat di Jeddah. Mulailah saya menjelaskan perkenalan saya dengan Achmad, dan perkembangan pertemanan tersebut. Saya jelaskan juga asalnya dari Palembang, kondisi keluarganya, dan lain-lain yang saya tau dari Afiq.

Entah atas dasar apa, akhirnya bunda menolak untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, mungkin karena banyak berita miring di media massa seputar orang asli sana. Sayapun yang dari awalnya tidak menganggap perkenalan ini serius, menyetujui akan keputusan bunda. Akhirnya bunda memutuskan akan menelpon Achmad, untuk tidak melanjutkan dengan cara baik-baik. Karena khawatir jika saya yang bicara, akan menyakitkan dan kurang santun. Merasa persoalan sudah selesai, saya plong. Alhamdulillah…masalah selesai.

Allah Maha membolak balikkan hati, alih-alih masalah selesai atau case closed justru bunda tertarik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sementara, sedikitpun saya tidak berharap berjodoh dengannya. Apalagi, saya lebih mengharapkan berjodoh dengan seorang ikhwan yang mengerti aktifitas dakwah dan sejalan dengan pemikiran saya, bisa mengingatkan diri ini saat iman sedang turun, bisa terus menyemangati agar beribadah lebih baik lagi. Bukan dengan orang yang belum tarbiyah, belum mengenal aktifitas dakwah walaupun memang hal itu tidak menjamin. Bahwa orang yang tidak tarbiyah adalah belum tentu tidak baik, mungkin saja dia hanif yang minus tarbiyah saja.

Kekhawatiran saya cukup tinggi akan keberhasilan perjodohan ini. Usaha kakak, teman-teman dan Murobipun tampaknya tidak berhasil untuk menggagalkan perjodohan ini. Apalagi hasil istikhoroh tidak meyakinkan saya untuk melanjutkan, atau saya yang sudah cenderung menolak. Sehingga hati ini seperti tertutup dari petunjuk.
Beberapa kali saya mencoba menjelaskan, tentang keputusan untuk tidak melanjutkan perjodohan ini kepada Achmad. Bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan keinginan, baik itu sikap, kondisi keluarga, kondisi perkuliahan, atau hal lain, yang membuat saya mundur teratur. Apalagi tentang tidak mantapnya hati untuk lanjut.

Berkali-kali juga mencoba jelaskan pada Bunda, bahwa saya tidak ingin melanjutkan perjodohan ini. Tapi bunda terlalu khawatir jika saya menolak perjodohan ini, maka ke depan akan susah menikah nantinya. Alasan yang klise, karena saya tak punya pacar, kawan dekat lain jenispun tidak ada. Apalagi saya sudah dilangkah adik lelaki, kata Bunda ‘perempuan yang dilangkah adik laki susah jodohnya’. Bunda sangat khawatir jika saya terlalu asik dalam kegiatan keseharian saat ini, maka akan lupa untuk menikah.

Bunda tau kegalauan hati saya, menjelang Ramadhan 2004 beliau pulang ke Indonesia. Khusus untuk mengurus perjodohan saya. Bahkan kepulangannya dirahasiakan pada kami anak-anaknya. Justru Bunda pulang minta dijemput oleh Achmad dan keluarganya. Hal aneh yang pernah ada, dan membuat saya sempat bersitegang dengan Achmad.

Entah apa yang menyebabkan Bunda begitu bersemangat menjodohkan saya dengan Achmad. Apa karena usia saya yang kepala 3, atau hatinya sudah kepincut akan kesopan santunan tutur kata Achmad dan keluarganya. Atau Allah SWT sudah memberi petunjuk pada Bunda. Wallahu ‘alam.

Beberapa hari setelah kedatangan Bunda, keluarga Achmad datang menemui bunda. Kebetulan ayah sedang bertugas juga di Jeddah, dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Intinya mereka mengkhitbah saya, dan meminta kepastian kapan akan dilangsungkan pernikahan. Saya kalut, bingung harus bagaimana. Hati kecil saya tidak menginginkan perjodohan ini, sementara Bunda sangat bersemangat dan berharap bahwa perjodohan ini akan berlanjut.

Satu-satunya anak yang belum menikah di keluarga ini, juga satu-satunya anak yang harus menuruti jodoh pilihan Bunda. Dari sekian anak, tak satupun yang pasangannya sesuai dengan pilihan Bunda, dengan kata lain, saya harus mengobati kekecewaan bunda atas sikap saudara-saudara yang lain.

Bunda tampak bersemangat dengan perjodohan ini, melihat kegembiraan dimatanya tak tega rasanya untuk menolak, akhirnya saya mengajukan beberapa syarat. Pertama saya ingin menjalani Ramadhan ini dengan baik, tidak diganggu masalah perjodohan. Nanti setelah syawal baru dibicarakan lagi. Kedua jika nantinya memang akan menikah, harus hidup mandiri, tidak mau tinggal bersama orangtua. Ketiga masalah rumah tangga tidak ada yang boleh mencampuri termasuk pihak kedua keluarga besar. Persyaratan sayapun disepakati. Melihat sikap saya yang menerima perjodohan ini akhirnya Bunda kembali ke Jeddah karena izinnya cutinya telah habis.

Ramadhan kali ini, saya sangat menikmati malam-malam panjangnya. Sekian malam saya habiskan dengan mengadu pada Allah, memohon petunjuk diberikan jalan terbaik. Berdoa dengan penuh kepasrahan, dan mencoba untuk Ikhlas apapun keputusan-Nya. Sepuluh hari terakhir betul-betul digunakan full untuk memohon kepada-Nya, beri’tikaf di masjid Al Hikmah jalan Bangka. Bertemu dengan teman yang bisa jadi tempat berbagi. Bertemu dengan para ustadz dan ustadzah yang mendamaikan dan menenangkan hati. Ingin Ramadhan kali ini tiada berakhir.

Jika ini memang jodohnya, semoga ini adalah jalan saya mencari ridho orangtua, yang berarti ridho Allah juga. Berharap buah dari keridhoan ini adalah keberkahan pada rumah tangga kami pada akhirnya. Sampai kering rasanya air mata ini. Mata sembab selalu saya bawa bahkan sampai ke kantor, tentunya teman kantor tidak ada yang tau masalah ini. Berusaha bersikap senormal mungkin menyikapi kondisi hati yang berkecamuk. Tersadar bahwa ternyata saya belum bisa ikhlas sepenuh hati menerima ketentuan dari-Nya, jika perjodohan ini berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.
Pernikahan

Syawal hampir berakhir, Bunda terus mendesak agar pernikahan dilangsungkan tetap pada bulan syawal, tidak bisa ditawar lagi apalagi ditunda sampai selesai kuliah S-2. Seminggu sebelum pernikahan, masih juga belum menginformasikan kapan hari pernikahan kami kepada pihak kantor tempat bekerja. Kurang 3 hari, barulah saya menyebarkan undangan.

Perencanaan acara pernikahan, penyewaan tenda, baju pengantin dan lain sebagainya semua diurusi oleh mba Salwa. Saya hanya pasang badan. Beberapa kali saya berkomentar,’jika tidak ada yang membantu mengurus pernikahan ini, lebih baik tidak jadi saja. Pokoknya saya hanya pasang badan saja mau diapakan pasrah’ agak mengancam memang kedengarannya. Tapi saat itu merasa bahwa saya hanyalah raga yang tidak berjiwa, tidak merasakan kebahagiaan pada umumnya orang yang akan menikah. Masih mencoba berfikir, dan berandai-andai. Seandainya saja bisa menghilang, dan melarikan diri dari pernikahan ini alangkah bahagianya saya. Syeitanpun mulai bermain di sini, menjadikan saya semakin ragu untuk melangsungkan pernikahan ini.

Sehari sebelum menikah, menyempatkan diri hadir dalam lingkaran kecil kami. Walaupun sempat dilarang mba Salwa, takut saya nekat melarikan diri mungkin. Berada di dalam lingkaran kecil ini membuat saya merasa damai. Pelukan hangat dari saudara seiman, menjadikan diri ini lebih tegar untuk menghadapi hari pernikahan esok. Ummi Arif, Ibu Yeni, mencoba meyakinkan bahwa ini adalah yang terbaik menurut versi Allah, jalan menuju keridhoan-Nya, mencari berkah dari ridho orangtua.

Beberapa teman membantu persiapan acara sampai dini hari. Tetap berusaha ceria, bercanda dengan teman walaupun hati saya tidak jelas bagaimana rasanya. Ingin menangis mungkin. Tapi tidak ada gunanya, hanya menambah kekhawatiran orang di sekitar. Pernikahan sudah didepan mata, tidak bisa mundur.

Tibalah saatnya saya dirias layaknya seorang calon mempelai wanita. Sedikitpun saya tidak protes, tidak komentar ini atau itu. Seperti statement yang lalu, hanya pasang badan. Mau dicoreng moreng juga saya tidak perduli. Merasa seperti patung saja. Bercerminpun tidak saya lakukan, sekedar melihat penampilan setelah dimake over seperti apa.

Akad pun dilakukan dengan wali jarak jauh, Ayah saya yang sedang berada di Jeddah menelpon bapak penghulu. Akad pun berlangsung dengan khidmat. Tetap saja tidak ada rasa apapun di hati ini. Astaghfirullah…, astaghfirullahal adziim, ada apa dengan hati ini. Ingin menangis tapi air mata ini seperti mengering. Tidak ada senyum sedikitpun di bibir saya.

Satu persatu yang hadir menyalami kami. Tetap tidak bisa tersenyum. Bahkan saya hampir menangis, jika tidak melihat kode gelengan kepala Mba Salwa melarang menangis. Tibalah saudara dalam lingkaran kecil datang, saat bersalaman dengan Ummi Arif, dengan Ibu Yeni. Pecahlah tangisan, dalam pelukan mereka saya lepaskan semua beban di dada. Mungkin yang hadir aneh melihat mempelai wanita menangis sedih seperti itu. Melihat tangisan saya, beberapa temanpun ikut merasakan kesedihan yang saya rasakan. Achmad yang sekarang menyandang gelar suamipun tampak agak bingung.

Allah berikan jodoh yang terbaik
Alhamdulillah….tak terasa, usia pernikahan ini berjalan 6 tahun. Jika ingat bagaimana awalnya pertemuan dulu, sangat aneh mungkin jika bisa bertahan selama ini. Tidak dengan proses pacaran seperti orang kebanyakan, justru kami saling mengenal setelah menikah. Walaupun awalnya saya harus berjibaku untuk beradabtasi dengan suami dan keluarga besarnya yang sangat berbeda adat istiadatnya, Alhamdulillah saya bisa menjalani semuanya.

Membentuk sebuah keluarga, tentunya keinginan semua orang. Di benak saya, semua yang indah – indah terlukis. Berharap mendapatkan suami yang romatis, karena saya sendiri orangnya agak kaku. Berharap yang punya hoby sama; traveling, naik gunung, baca buku. Tujuannya agar saat ngobrol bisa nyambung. Berharap dia lebih macho karena saya dulunya tomboy, lebih tau banyak hal, dibanding saya, dan begitu banyak harapan lainnya.

Allah berikan saya, seorang pria yang jauh….dari romatis, penyabar, lurus, serius, jarang bercanda, bahkan seringkali tidak sadar kalau sedang dijadikan bahan candaan oleh saya dan ponakan. Tidak hoby naik gunung atau olahraga resiko tinggi. Tutur katanya sangat halus dan santun terhadap semua (sssst…bocoran, hati bunda kepincut karena sikapnya yang satu ini), sikapnya Lebih lembut dari saya, lebih sabar juga dari saya. Masalah tarbiyah yang saya takutkan terjawab. Walaupun dia belum ikut tarbiyah, ibadah hariannya sangat konsisten. Bahkan saya sering malu sendiri jika terkadang muncul rasa malas. Indahnya tarbiyah ia rasakan tak lama setelah kami menikah.

Melihat semua hal yang ada pada dirinya, hati ini semakin yakin inilah jodoh terbaik yang Allah berikan untuk saya. Allah memberikan apa saya butuhkan, bukan apa saya inginkan. Tersadar bahwa ini adalah berkah yang saya dapat, karena mencari ridho orang tua (terutama bunda). Mengingat tidak ada aral melintang dan permasalahan yang cukup besar selama berumah tangga sekian tahun. Semoga cinta yang Allah tumbuhkan pada kami berdua kekal sampai hari di mana kami dipertemukan kembali di Jannah-Nya.

Mengharap Restu Bunda

“Loh, pak ini angkot mau kemana? Kok arahnya ke sini?” Tanya saya saat melihat angkot yang saya tumpangi berbelok ke arah yang tidak seharusnya. Biasanya dari Sukasari, angkot seharusnya bergerak lurus ke arah Tajur. Dari Ciawi kemudian melanjutkan naik angkot ke arah Cibedug. Tapi kali ini angkot berputar ke arah Batu Tulis, kemudian melewati kuburan China, dan keluar di daerah Rancamaya. Arahnya jauh melenceng dari tujuan semula.

“Arah ke Ciawi macet banget, neng. Angkot juga lagi demo. Karena ada rencana trayek baru.” Jawab sang supir.

“Neng turun di sini trus nyebrang, nanti nyambung naik angkot turun di Truba naik ojeg ke Cibedug. Atau naik bis yang arah ke Sukabumi. Angkot agak jarang, karena kalo narik bisa ditimpukin sama yang demo.” Tambah sang supir.

Akhirnya dengan terpaksa saya turun, bingung mau melanjutkan perjalanan naik apa. Janji datang jam 10 sudah lewat satu jam. Duh…, pastinya Ummi sudah menunggu saya. Alhamdulillah ada bis kea rah Sukabumi lewat. Sayapun naik. Sekarang berjaga agar bisa turun di Truba (masalah baru, karena saya tidak tau truba itu di mana). Bertanya sama kondektur bis, diapun tidak tau di mana Truba. Duh…., kok jadi repot begini.

Tidak menyerah, sayapun mencoba sms ke teman yang kebetulan rumahnya di Cigombong, menunggu lama tak juga dijawab. Tak juga putus asa, saya kirim sekaligus sms ke beberapa teman. Saat saya menunggu balasan sms, HP berdering.

“Assalamu’alaikum, Lis, sekarang sudah di mana kok belum sampe juga? Sudah ditunggu sedari tadi, segera ke sini ya…, jangan mampir-mampir dulu” Suara Ummi di sana

“Wa’alaikumsalam, Ummi…., Lis masih di jalan nih…, angkot lagi demo. Bentar lagi mungkin sampai.” Jawab saya, sambil sesekali melihat ke sisi jalan mencari tanda atau plang nama Truba. Perjalanan jadi tidak menyenangkan hari ini. Belum sempat menerima balasan sms dari teman-teman, HP saya Low batt. Astaghfirullah….., lengkap sudah.

Beberapa penumpang coba saya Tanya, tentang alamat truba. Berharap ada yang tau. Nihil, tak seorangpun yang tau di mana itu Truba. Tiba-tiba saja saya teringat rumah teman di Cigombong, akhirnya saya turun tak jauh dari rumahnya. Silaturahim sebentar dan bertanya tentang rute tercepat ke Cibedug. Nyasarnya cukup jauh. Pffffh… lelahnya, belum makan pula.

Kembali naik Bis kali ini kea rah Jakarta, turun di Truba (Alhamdulillah sudah mendapat info yang jelas dari teman). Naik ojeg, dengan harga yang fantastis menuju Cibedug. Aji mumpung si tukang ojek saat angkot demo.

Sampai di Rumah Ummi Arif, sudah jam setengah satu siang. Waktunya ngaji pekanan. Beberapa teman sudah hadir di lingkaran kecil kami.

“Dari mana aja, kok baru datang? Udah ditungguin tuh… sama Ummi. Eh…ngomong-ngomong selamat ya….” Seorang teman menyalami saya sambil mesem-mesem ga jelas
“Orang nyasar sampe Cigombong kok dikasih selamat. Gimana sih.” Sanggah saya. Setelah bersalaman sambil cupika cupiki, dengan semua teman dalam lingkaran, Ummi bicara.

“Lis, cepetan ke depan…, kerjain isian yang di papan tulis ya… kalau sudah selesai baru ke sini. Yang lain sudah mengerjakan tugas itu.” Kata Ummi.
“Baik Mi, tapi saya Sholat dulu ya…, tadi nyasar-nyasar ada demo angkot. Jadi belum sempet Dhuhur.” Jawab saya, sambil melenggang menuju tempat wudhu. Sementara beberapa teman memandang saya sambil senyam senyum aneh.

Selesai sholat, saya berjalan ke ruang depan. Ruangan kosong lainnya di rumah Ummi yang biasa di jadikan ruang pertemuan untuk syuro. Ruang kecil berukuran tiga kali tiga meter berlantai keramik putih tanpa karpet, yang dilengkapi white board besar di dindingnya. Saya pun duduk di depan papan tulis, mencoba menjawab quesioner. Sesekali terdengar ada suara pembicaraan antara Abi (suami Ummi Arif) dengan seorang tamu.

Saat saya sedang mengerjakan tugas, lewatlah seorang ikhwan (tamu Abi). Tapi saya yang sedang serius mengerjakan tugas tidak begitu memperhatikan siapa yang lewat. Hanya kelebat bayangan orang saja yang terlihat. Selesai mengerjakan tugas sayapun kembali dalam lingkaran. Kali ini Aisyah (teman ngaji saya) tambah lebar nyengirnya.

“Gimana tadi?” tanyanya penuh selidik. Sambil mengedipkan matanya.
“Gimana apanya? Udah selesai nih ngerjain tugasnya.” Jawab saya polos sambil menyerahkan selembar kertas kepada Ummi.

“Ih… bukan itu…” Sanggah Aisyah, wajahnya tampak tidak puas dengan penjelasan saya.
“Apanya? Kan sama-sama ngerjain isian yang di papan tulis.Memangnya ada yang lain?”Tanya saya bingung.Ummi Arif pun menengahi
“Sudah…sudah…, kita lanjutkan saja ngajinya ya…” pertanyaan sayapun menggantung dan tidak dilanjutkan.

---------
Ba’da maghrib di rumah, HP saya berbunyi. Dari Ummi Arif. Saya angkat sambil berjalan ke halaman rumah, karena di dalam kamar signalnya putus-putus.

“Assalamu’alaikum Mi, ada kabar apa mi? Kok pake telepon segala, kan tadi juga dari rumah Ummi? Ada yang kelupaan ya…?” Tanya saya

“Wa’alaikumsalam Lis. Tadi ngerti ga kenapa disuruh datang lebih awal, dari teman-teman?” pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan. Waduh… kok aneh nih.

“Wah…, saya ngga ngerti Mi, kalau sekedar mengerjakan tugas di papan tulis tadi, kalau sekedar mengerjakan tugas tadi sih, seharusnya bisa aja barengan dengan yang lain. Toh teman-teman juga ngerjainnya sama-sama. Alasan lain saya ga tau, memangnya ada apa sih Mi?” Jawaban sekaligus pertanyaan baru dari saya

“Lis, tadi pas ngerjain tugas di depan liat ada orang yang ngobrol sama Abi ga?” Tanya ummi lagi. Tetap pertanyaan dijawab dengan pertanyaan baru lagi.
Waduh… makin bingung saya, sepertinya Ummi ada yang mau disampaikan tapi kok ya muter-muter seperti ini.

“Tadi sih denger Mi, kayanya ada orang yang ngobrol sama Abi di ruang tamu. Cuma saya ngga tau siapa.” Jawab saya jujur

“Jadi tadi Lis, engga lihat wajah orang yang lewat itu?” Tanya Ummi lagi.

“Ih…Ummi gimana nih…, katanya ke depan disuruh ngerjain tugas. Ya… saya Cuma kerjakan tugas aja. Memang sih..ada Ikhwan lewat gitu. Cuma saya ga lihat mukanya. Kan lagi serius ngerjain Quiesioner dari Ummi. Beneran ga liat mukanya, memangnya ada apa Mi?” Jawab saya, yang tambah bingung. Perasan mulai agak tidak nyaman nih.

“Gini deh, to the point aja. Tadi Itu, Ikhwan yang mau dikenalin sama Lis. Biodata Lis sudah ada di Ikhwannya. Nah…tadinya Ummi mau kasih biodata itu Ikhwan, tapi Abi lupa kasih ke Ummi. Di email saja ya.” kata ummi menjelaskan.

Deg…. Jantung serasa berhenti berdetak. Ya Allah…, ternyata itu yang membuat teman ngaji senyam senyum plus mengucapkan selamat.

“Oh … begitu….. boleh deh Mi, dikirim via email saja. Berhubung dua pekan yang akan datang baru bisa hadir lagi ke tempat Ummi, karena pekan depan mau ke Jawa Timur sama Bunda.”Jawab saya

Singkat cerita, Biodata Ikhwan tersebut tidak kunjung sampai juga. Entah alamat email yang salah spelling atau apalah saya tidak mengerti. Beberapa hari kemudian Ummi dan Abi silaturahim ke rumah, bertemu dengan Bunda. Karena mumpung Bunda ada di Indonesia, sekaligus pendekatan untuk rencana ta’aruf nanti.

Setelah menerima kunjungan Ummi & Abi, Bunda curiga, dan mencoba menebak-nebak ada apa dibalik kunjungan tersebut. Saya tetap belum mau menjelaskan, karena biodata ikhwan belum ditangan. Sementara teman ngaji sudah mulai kasak kusuk mengadakan pendekatan kepada Bunda (kebetulan teman ngaji sangat dekat dengan keluarga). Sampai pada satu saat, isu itu terdengar dan terbaca oleh ibunda yang agak anti dengan kegiatan pengajian saya.

“Kamu itu bagaimana sih Nduk? Lah wong ketemu sama orangnya saja belum, kenal saja belum, kerja dimana, anaknya siapa, bagaimana akhlaknya, lah kok mau dijodohin sama kamu terus kamunya mau saja piye toh?” Bunda mengungkapkan kekesalannya.

Saya berusaha menjelaskan, tahapan Ta’aruf itu seperti apa kepada bunda, tapi sepertinya bunda tidak mudah mengerti begitu saja.

“Tinggal kamu anakku yang belum menikah, pokoknya kamu harus nurut apa kata bunda. Wis… toh, jodohmu biar bunda yang cari. Ga percoyo aku sama jodoh dari temen ngaji mu itu. Ndang lihat kakak-kakakmu, hidupnya susah semua. Cuma satu orang saja yang bisa hidup senang. Lainnya apa…, susah semua. Aku ndak mau koe koyo ngono nduk.” Tambah Bunda lagi.

Semakin sulit rasanya saya bersikeras melanjutkan proses ta’aruf. Bingung harus bagaimana menjelaskan ke Ummi dan pihak Ikhwan.

Ya…Robbi, hamba mohon petunjuk-Mu, jika memang ini bukan jodoh hamba. Ikhlaskan hati ini untuk menerima keputusan bunda untuk tidak melanjutkan ta’aruf ini.

Beliau tidak setuju saya dijodohkan, dengan orang yang belum dikenal dengan baik. Bagaimana mau mengadakan pendekatan ke orang tua, biodata si Ikhwan saja tidak tau. Apa yang harus saya sampaikan benar-benar tidak ada bahan. Yang ada saya jadi bulan-bulanan dicomplain bunda. Menurut sumber yang dipercaya, si Ikhwan sudah berharap banyak pada saya. Ikhwan tersebut sudah mantap hatinya, hasil istikharah sekian lama.

Beberapa kali Ummi juga tetap mencoba untuk melaksanakan ta’aruf, dan melakukan pendekatan pada bunda, tapi Allah berkehendak lain. Terbukti dari nyasarnya saya hari itu, tidak melihat wajah si ikhwan, biodata yang tidak kunjung datang ke alamat email saya, sampai dengan sikap bunda yang tidak setuju 100%. Duh…., dengan berat hati mencoba menjelaskan tentang sikap bunda ke Ummi. Berharap semoga Ikhwannya mengerti dan memaafkan saya. Yakin, saja. Mungkin ini belum jodoh dari-Nya. Yakin saja, bahwa si Ikhwan nantinya akan mendapatkan akhwat yang lebih baik dari saya, begitupun sebaliknya.

Rabu, 28 Juli 2010

Anniversary

Tak terasa, usia pernikahan ini sudah berjalan selama 5 tahun. Jika ingat bagaimana awalnya pertemuan kita, sangat aneh mungkin. Tidak dengan proses Pacaran seperti orang kebanyakan.

Allah telah pilihkan seorang pria dengan segudang kesabaran, untuk menjadi suami dan ayah anak-anak saya.

Memang benar, menyatukan dua kepala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kami dari keluarga yang sangat berbeda. Baik budaya, adat kebiasaan, dan masih banyak lagi perbedaan diantara kami.

Membentuk sebuah keluarga, tentunya keinginan semua orang. Begitupula saya.
Dibenak saya, semua yang indah – indah terlukis.

Berharap mendapatkan suami yang romatis, karena saya sendiri orangnya agak kaku.
Berharap yang punya hoby sama ; traveling, naik gunung, baca buku. Biar kalo ngomong nyambung.

Berharap dia lebih macho, lebih tau banyak hal, dibanding saya yg agak kuper.
Allah berikan saya:

Seorang laki-laki yang jauh….dari romatis. He is just ordinary people, lurus, serius, bahkan seringkali ga ngeh kalau sedang digosipin sama ponakan & istrinya (maaf ya honey…..)

Tidak hoby naik gunung, sekali-kali pengen ngajak naik gunung beneran euy….(nostalgia waktu kuliah)

Tutur katanya sangat halus dan santun terhadap semua (bocoran, hati mama kepincut karena sikapnya yang satu ini), sikapnya Lebih lembut dari saya, Lebih sabar dari saya, lebih gampang tidur….(ini sih ga masuk itungan ya….)

Tapi saya yakin, inilah yang terbaik yang Allah berikan untuk saya.

Persamaan antara kami berdua adalah:

Kami tidak terbiasa ngurus rumah (beberes) alias sama-sama “pemalas”, saya lumayan terkaget-kaget harus mengerjakan semua kerjaan rumah sesaat setelah menikah.

Bisa stressss….berat menghadapi kerjaan rumah yang menggunung. Saya lebih memilih kerja di kantor sampai pagi daripada disuruh melakukan kerjaan rumah. Apalagi didukung kulit saya yang super sensitif, jika terkena detergen, seluruh kulit telapak kaki mengelupas, kulit tangan juga, bahkan sampai lecet-lecet dan berdarah.

Kami sama-sama tidak pernah kerja rumahan (dari beres-beres rumah, nyuci, nyetrika, sampai masak) dari kecil sampai usia saat saya kerja. Bukan saya ngebos tapi banyak kakak yang merelakan adiknya ini main-main daripada beresin rumah or masak. Akhirnya…. Terbawa sampai sekarang.

Dibenak saya, lah…wong sudah cape kerja kantor, masih juga harus jadi “UPIK ABU” (hiks….) apa ga bisa istirahat dengan tenang sepulang kerja seharian.

Sama-sama hoby tidur….., (kalau ini saya agak kalah). Saya tidur panjang kalo pas libur aja. (ngeles), atau saat malamnya harus begadang menyelesaikan kerja, menulis, atau baca buku. Biasanya ba’da subuh, tidur….lagi. kaya lagunya mbah Alm. Mbah Surip ya, Bangun tidur….tidur lagi, bangun tidur…tidur lagi…., bangun tidur…………., tidur lagi. (nyanyi mode on).

Enaknya, suami ga pernah protes liat saya kaya gini, makasih honey…..(tapi saya sering protes kalo suami yang tidur, hehehe…curang ya…..)

Perbedaan kami:

Saya yang notabene cukup mandiri, hidup tidak ditunggui oleh orangtua. Hanya anak-anak (saya, 4 kakak dan 1 adik). Semua kami putuskan sendiri, baik buruk fikir sendiri, semuanya atas inisiatif masing-masing. Tidak seperti keluarga normal pada umumnya. Ada ayah, ibu yang selalu bisa dimintakan pedapatnya saat kita perlukan, yang setia memonitor setiap perkembangan anak-anaknya.
Tapi biarlah…., dengan begini Allah menjadikan kami lebih surfive. Tahan banting.

Suami dari keluarga yang cukup harmonis, selalu ada campur tangan pihak keluarga untuk setiap keputusan yang dibuat. Selalu menimbang baik buruk secara bersama. (indahnya….)

Saya tidak suka berkeliling Mall untuk check harga, atau belanja apalagi menawar harga. Berbeda dengan suami, yang jago banget nawar, dan hoby keliling Check harga. Kalo saya belanja, bisa di target waktu & brg yang dibeli. Tapi kalo suami yang belanja……jangan harap bisa secepat kilat melesat. Pastinya My hubby tengok kanan kiri, liat promo ini itu.

Kalo suami….hebatnya….ga cape keliling terussss… (jadi ingat waktu beli HP di Roxi, untuk menggantikan HP yang di curi org di Bis) saat itu kami mampir di toko pertama, harga sudah cocok, tp suami tidak puas karena penjual tidak mau turunkan harga.

Akhirnya saya diajak muter-muter, hampir 2 jam muter-muter, tidak bertemu dengan toko yang harganya dibawah toko pertama. Yasud…, kembalilah kami ke toko pertama. Emang belum rezekinya, toko tersebut sudah keburu tutup. Yah…nyesel banget kan. Saya langsung manyun, semanyun-manyunnya. 2,5 jam muter-muter di Roxi, pulang dengan tangan hampa.

Saya suka sekali baca buku, apapun bukunya. Dari yang lucu sampai yang serius. Seringkali sampai begadang untuk sekedar menamatkan buku yang sedang saya baca. Suami malah heran melihat saya seperti itu. (aneh kali ya….., sakaaw….baca buku).

Hal yang satu ini coba saya tularkan ke suami, (gak mempan kayanya), berkali-kali saya kompori tentang buku yang bagus, tidak juga tergiur tuh…..(wuaaaa…..gagal…, ga bisa jadi sales buku yang baik dong ya…). Mau tau alasannya?

Suami saya bilang :
1. Bukunya terlalu tebal,
2. Kayanya buku lain lebih menarik,
3. Mending baca sedikit tapi rutin, daripada tidak,
4…….zzzz (keburu pulessss deh dia, hihihi).

Baca majalah tarbawi aja yang tipiiiiiis, bisa ber hari-hari selesainya. (hebat…kan?)
Mungkin sangking mengkaji dan mendalami isi tulisannya kali ya….jadi agak lama selesainya (cieh….ngeles).

Bedanya , suami suka baca judulnya doang, and bawa-bawa buku penuhi tasnya, tapi saat ditanya dah selesai belum bacanya?
Dijawab dengan pasti, “BELUM !” (Pfffuih….., cape deh….)