Beberapa tahun setelah kejadian ta’aruf yang gagal, karena tidak mendapat retu dari bunda. Saya kembali menjalani kehidupan seperti biasanya. Kerja, kuliah S-2, ngaji, aktif di kegiatan kepartaian, ikut kegiatan sosial sampai dengan aktif di Ziswaf daerah Bogor. Hari saya Full dengan kegiatan, menjadikan saya jarang berfikir ke arah pernikahan. Yakin, jika saatnya tiba Allah akan hadirkan jodoh yang terbaik untuk saya.
Akhir pekan ini saya dan beberapa teman diminta membantu acara khitanan masal dari seorang dermawan yang memiliki minimarket di Kota Bogor. Tenaga medis sudah dipanggil dari LKC (Lembaga Kesehatan Cuma-Cuma), lengkap dengan peralatan dan obat-obatan. Masih kurang beberapa orang untuk mengatur anak-anak yang akan dikhitan, dan perlengkapan lainnya. Dari mulai membuat daftar, mengabsen, membagikan bingkisan dan obat, sampai memegang si anak saat mau dikhitan, menjadi bagian dari tugas kami.
Senang, lucu, haru melihat anak-anak kecil yang selesai dikhitan. Ada yang menangis, ada yang cool abis, ada juga yang kaburr, karena takut. Yang lucu, si anak dermawan yang urutan absennya paling depan justru dikhitan paling belakang karena takut, melihat teman sebaya banyak yang nangis kejer.
Alhamdulillah acara berjalan lancar, semua anak akhirnya selesai dikhitan. Sambil istirahat, si dermawan sempat bercanda pada kami.
“ Ngomong-ngomong ini masih ada yang single ga? Soalnya saya punya adik laki-laki masih bujangan, pengen dapet istri yang pake jilbab panjang kaya gini.” Kata bu Sari
“Wah…kebeneran nih bu, dua temen saya masih single. Boleh tuh…kali aja jodoh.” Jawab Aisyah cepat, sambil mesem-mesem melirik kea rah saya dan May.
“ Minta nomor HP nya dong, nanti saya kasih ke adik saya. Biar kenalan gitu. Adik saya lulusan S-1 UNPAD, anaknya baik loh…” jelasnya sambil sedikit promosi.
Saya yang mendengar cuma cengar-cengir tidak serius menanggapi. Justru Aisyah yang semangat 45, memberikan secarik kartu nama yang agak lecek.
“Ini saja bu, ada nomor HP nya di situ. Semoga jodoh ya bu. Kalaupun bukan jodoh ya, nanti satu saat ibu butuh bantuan tenaga, kami siap bantu bu.” Balas Aisyah.
Tersadar bahwa itu ternyata kartu nama saya. Agak sewot juga melihat teman saya kok semangat sekali. Mencoba berbaik sangka, dan tidak ambil pusing masalah niat perjodohan itu. Ah…paling juga si ibu tidak serius menjodohkan adiknya.
Perkenalan
Seminggu setelah acara khitanan masal itu, bu Sari menelpon ke rumah. Mengabarkan bahwa nomor HP saya sudah disampaikan ke adiknya. Kabar tersebut tidak saya tanggapai dengan serius. Namanya juga orang mau kenalan. Toh belum tentu jodoh. Jadi santai sajalah.
Pulang kerja di sekitar UKI, saat saya akan menaiki bis jurusan Bogor yang sedang ngetem, HP saya berbunyi. Sebuah sms masuk.
“Assalamu’alaikum, nama saya Achmad adik dari ibu Sari di Bogor. Apa boleh saya telepon sekedar untuk berkenalan?”
Saya jawab sms itu
“Wa’alaikumsalam, boleh saja telepon. Tapi beberapa menit lagi setelah saya di dalam bis. Ini saya masih di jalan.”
Tetap berhuznudzon, memperluas silaturahim. Tidak punya niat apapun dalam menjawab telepon si Achmad ini. Benar saja, beberapa menit kemudian dia menelpon dan memperkenalkan dirinya.
Beberapa hari setelah Achmad telepon, bu Sari mengabarkan bahwa adiknya ingin bertemu secara langsung. Atas pertimbangan kakak, Murobbi, sayapun bertemu dengan Achmad yang tentunya ditemani oleh muhrim. Dia ditemani bu Sari dan anak-anaknya, saya ditemani Mba Salwa.
Perkenalan singkat itu ternyata berlanjut pada pertemuan yang lain. Kali ini, bukan saya yang menemui Achmad, tapi kakak ipar saya (Afiq). Afiq yang menjelaskan bagaimana saya dari A sampai dengan Z. Penjelasannya lebih ke arah, gambaran negative tentang saya. Kekurangan saya sebagai seorang akhwat berjilbab. Tidak pandai masak, bahkan mendekati tomboy, full aktifitas, pekerja kantor yang sering tugas keluar kota, masih kuliah juga, dan penjelasan detail mengenai gambaran saya sehari-hari. Saya selalu tampak jutek jika saat bertemu, maksud hati agar si Achmad tidak melanjutkan niatnya (dalam hati saya).
Membalas kunjungan Achmad, kami diminta oleh pihak keluarga untuk datang kerumahnya. Kedatangan kami yang tidak sesuai jadwal menyebabkan beberapa pihak dari keluarga tampak tidak suka. Termasuk bu Sari, yang biasanya sangat ramah, kali ini tidak menunjukkan hal tersebut. Saat bersalaman saja saya sempat canggung, mau cupika cipiki atau, tapi dengan melengos (pahit….). Karena dari sikap dan bahasa tubuhnya menunjukkan kurang simpatik. Rasanya seperti duduk diatas bara api.
Keluarganya lengkap berkumpul, membicarakan tentang rencana pernikahan. Saya tidak bicara sedikitpun, bingung. Apalagi semua anggota kelaurganya cukup vocal. Suasana hingar bingar, sampai kepala saya mendadak pusing, dada mulai sesak, seperti mau pingsan. Barulah menyadari, bahwa keluarga ini sangat care dengan urusan adik bungsunya (si Achmad ini), bahkan bisa dibilang anak kesayangan dari keluarga ini. Jadi wajar saja, bila harapan dari pihak kelaurganya pun sangat besar agar perjodohan ini berhasil.
Intinya mereka tetap berharap agar segera ditetapkan perkiraan pernikahan. Sementara saya masih berkelit akan menyelesaikan kuliah S-2 yang sudah dalam tahapan menyusun Thesis. Hal yang agak menyebalkan adalah, si Achmad tidak bicara sepatah katapun, mengenai keinginannya, harapannya, atau apapun yang ada di benaknya. Membuat saya semakin tidak yakin padanya. Bagaimana mungkin, dia tidak ada bicara sedikitpun. Padahal ini masalah masa depannya, mungkin dia tipe anak mami, yang tinggal tau urusan beres, sementara orang lain yang sibuk. Pfffh… satu lagi minus si Achmad, semakin memperkuat keputusan untuk mundur.
Maju mundur
Kabar tentang Achmad pun sampai ke Bunda yang sedang bertugas sebagai perawat di Jeddah. Mulailah saya menjelaskan perkenalan saya dengan Achmad, dan perkembangan pertemanan tersebut. Saya jelaskan juga asalnya dari Palembang, kondisi keluarganya, dan lain-lain yang saya tau dari Afiq.
Entah atas dasar apa, akhirnya bunda menolak untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya, mungkin karena banyak berita miring di media massa seputar orang asli sana. Sayapun yang dari awalnya tidak menganggap perkenalan ini serius, menyetujui akan keputusan bunda. Akhirnya bunda memutuskan akan menelpon Achmad, untuk tidak melanjutkan dengan cara baik-baik. Karena khawatir jika saya yang bicara, akan menyakitkan dan kurang santun. Merasa persoalan sudah selesai, saya plong. Alhamdulillah…masalah selesai.
Allah Maha membolak balikkan hati, alih-alih masalah selesai atau case closed justru bunda tertarik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sementara, sedikitpun saya tidak berharap berjodoh dengannya. Apalagi, saya lebih mengharapkan berjodoh dengan seorang ikhwan yang mengerti aktifitas dakwah dan sejalan dengan pemikiran saya, bisa mengingatkan diri ini saat iman sedang turun, bisa terus menyemangati agar beribadah lebih baik lagi. Bukan dengan orang yang belum tarbiyah, belum mengenal aktifitas dakwah walaupun memang hal itu tidak menjamin. Bahwa orang yang tidak tarbiyah adalah belum tentu tidak baik, mungkin saja dia hanif yang minus tarbiyah saja.
Kekhawatiran saya cukup tinggi akan keberhasilan perjodohan ini. Usaha kakak, teman-teman dan Murobipun tampaknya tidak berhasil untuk menggagalkan perjodohan ini. Apalagi hasil istikhoroh tidak meyakinkan saya untuk melanjutkan, atau saya yang sudah cenderung menolak. Sehingga hati ini seperti tertutup dari petunjuk.
Beberapa kali saya mencoba menjelaskan, tentang keputusan untuk tidak melanjutkan perjodohan ini kepada Achmad. Bahwa ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan keinginan, baik itu sikap, kondisi keluarga, kondisi perkuliahan, atau hal lain, yang membuat saya mundur teratur. Apalagi tentang tidak mantapnya hati untuk lanjut.
Berkali-kali juga mencoba jelaskan pada Bunda, bahwa saya tidak ingin melanjutkan perjodohan ini. Tapi bunda terlalu khawatir jika saya menolak perjodohan ini, maka ke depan akan susah menikah nantinya. Alasan yang klise, karena saya tak punya pacar, kawan dekat lain jenispun tidak ada. Apalagi saya sudah dilangkah adik lelaki, kata Bunda ‘perempuan yang dilangkah adik laki susah jodohnya’. Bunda sangat khawatir jika saya terlalu asik dalam kegiatan keseharian saat ini, maka akan lupa untuk menikah.
Bunda tau kegalauan hati saya, menjelang Ramadhan 2004 beliau pulang ke Indonesia. Khusus untuk mengurus perjodohan saya. Bahkan kepulangannya dirahasiakan pada kami anak-anaknya. Justru Bunda pulang minta dijemput oleh Achmad dan keluarganya. Hal aneh yang pernah ada, dan membuat saya sempat bersitegang dengan Achmad.
Entah apa yang menyebabkan Bunda begitu bersemangat menjodohkan saya dengan Achmad. Apa karena usia saya yang kepala 3, atau hatinya sudah kepincut akan kesopan santunan tutur kata Achmad dan keluarganya. Atau Allah SWT sudah memberi petunjuk pada Bunda. Wallahu ‘alam.
Beberapa hari setelah kedatangan Bunda, keluarga Achmad datang menemui bunda. Kebetulan ayah sedang bertugas juga di Jeddah, dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Intinya mereka mengkhitbah saya, dan meminta kepastian kapan akan dilangsungkan pernikahan. Saya kalut, bingung harus bagaimana. Hati kecil saya tidak menginginkan perjodohan ini, sementara Bunda sangat bersemangat dan berharap bahwa perjodohan ini akan berlanjut.
Satu-satunya anak yang belum menikah di keluarga ini, juga satu-satunya anak yang harus menuruti jodoh pilihan Bunda. Dari sekian anak, tak satupun yang pasangannya sesuai dengan pilihan Bunda, dengan kata lain, saya harus mengobati kekecewaan bunda atas sikap saudara-saudara yang lain.
Bunda tampak bersemangat dengan perjodohan ini, melihat kegembiraan dimatanya tak tega rasanya untuk menolak, akhirnya saya mengajukan beberapa syarat. Pertama saya ingin menjalani Ramadhan ini dengan baik, tidak diganggu masalah perjodohan. Nanti setelah syawal baru dibicarakan lagi. Kedua jika nantinya memang akan menikah, harus hidup mandiri, tidak mau tinggal bersama orangtua. Ketiga masalah rumah tangga tidak ada yang boleh mencampuri termasuk pihak kedua keluarga besar. Persyaratan sayapun disepakati. Melihat sikap saya yang menerima perjodohan ini akhirnya Bunda kembali ke Jeddah karena izinnya cutinya telah habis.
Ramadhan kali ini, saya sangat menikmati malam-malam panjangnya. Sekian malam saya habiskan dengan mengadu pada Allah, memohon petunjuk diberikan jalan terbaik. Berdoa dengan penuh kepasrahan, dan mencoba untuk Ikhlas apapun keputusan-Nya. Sepuluh hari terakhir betul-betul digunakan full untuk memohon kepada-Nya, beri’tikaf di masjid Al Hikmah jalan Bangka. Bertemu dengan teman yang bisa jadi tempat berbagi. Bertemu dengan para ustadz dan ustadzah yang mendamaikan dan menenangkan hati. Ingin Ramadhan kali ini tiada berakhir.
Jika ini memang jodohnya, semoga ini adalah jalan saya mencari ridho orangtua, yang berarti ridho Allah juga. Berharap buah dari keridhoan ini adalah keberkahan pada rumah tangga kami pada akhirnya. Sampai kering rasanya air mata ini. Mata sembab selalu saya bawa bahkan sampai ke kantor, tentunya teman kantor tidak ada yang tau masalah ini. Berusaha bersikap senormal mungkin menyikapi kondisi hati yang berkecamuk. Tersadar bahwa ternyata saya belum bisa ikhlas sepenuh hati menerima ketentuan dari-Nya, jika perjodohan ini berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.
Pernikahan
Syawal hampir berakhir, Bunda terus mendesak agar pernikahan dilangsungkan tetap pada bulan syawal, tidak bisa ditawar lagi apalagi ditunda sampai selesai kuliah S-2. Seminggu sebelum pernikahan, masih juga belum menginformasikan kapan hari pernikahan kami kepada pihak kantor tempat bekerja. Kurang 3 hari, barulah saya menyebarkan undangan.
Perencanaan acara pernikahan, penyewaan tenda, baju pengantin dan lain sebagainya semua diurusi oleh mba Salwa. Saya hanya pasang badan. Beberapa kali saya berkomentar,’jika tidak ada yang membantu mengurus pernikahan ini, lebih baik tidak jadi saja. Pokoknya saya hanya pasang badan saja mau diapakan pasrah’ agak mengancam memang kedengarannya. Tapi saat itu merasa bahwa saya hanyalah raga yang tidak berjiwa, tidak merasakan kebahagiaan pada umumnya orang yang akan menikah. Masih mencoba berfikir, dan berandai-andai. Seandainya saja bisa menghilang, dan melarikan diri dari pernikahan ini alangkah bahagianya saya. Syeitanpun mulai bermain di sini, menjadikan saya semakin ragu untuk melangsungkan pernikahan ini.
Sehari sebelum menikah, menyempatkan diri hadir dalam lingkaran kecil kami. Walaupun sempat dilarang mba Salwa, takut saya nekat melarikan diri mungkin. Berada di dalam lingkaran kecil ini membuat saya merasa damai. Pelukan hangat dari saudara seiman, menjadikan diri ini lebih tegar untuk menghadapi hari pernikahan esok. Ummi Arif, Ibu Yeni, mencoba meyakinkan bahwa ini adalah yang terbaik menurut versi Allah, jalan menuju keridhoan-Nya, mencari berkah dari ridho orangtua.
Beberapa teman membantu persiapan acara sampai dini hari. Tetap berusaha ceria, bercanda dengan teman walaupun hati saya tidak jelas bagaimana rasanya. Ingin menangis mungkin. Tapi tidak ada gunanya, hanya menambah kekhawatiran orang di sekitar. Pernikahan sudah didepan mata, tidak bisa mundur.
Tibalah saatnya saya dirias layaknya seorang calon mempelai wanita. Sedikitpun saya tidak protes, tidak komentar ini atau itu. Seperti statement yang lalu, hanya pasang badan. Mau dicoreng moreng juga saya tidak perduli. Merasa seperti patung saja. Bercerminpun tidak saya lakukan, sekedar melihat penampilan setelah dimake over seperti apa.
Akad pun dilakukan dengan wali jarak jauh, Ayah saya yang sedang berada di Jeddah menelpon bapak penghulu. Akad pun berlangsung dengan khidmat. Tetap saja tidak ada rasa apapun di hati ini. Astaghfirullah…, astaghfirullahal adziim, ada apa dengan hati ini. Ingin menangis tapi air mata ini seperti mengering. Tidak ada senyum sedikitpun di bibir saya.
Satu persatu yang hadir menyalami kami. Tetap tidak bisa tersenyum. Bahkan saya hampir menangis, jika tidak melihat kode gelengan kepala Mba Salwa melarang menangis. Tibalah saudara dalam lingkaran kecil datang, saat bersalaman dengan Ummi Arif, dengan Ibu Yeni. Pecahlah tangisan, dalam pelukan mereka saya lepaskan semua beban di dada. Mungkin yang hadir aneh melihat mempelai wanita menangis sedih seperti itu. Melihat tangisan saya, beberapa temanpun ikut merasakan kesedihan yang saya rasakan. Achmad yang sekarang menyandang gelar suamipun tampak agak bingung.
Allah berikan jodoh yang terbaik
Alhamdulillah….tak terasa, usia pernikahan ini berjalan 6 tahun. Jika ingat bagaimana awalnya pertemuan dulu, sangat aneh mungkin jika bisa bertahan selama ini. Tidak dengan proses pacaran seperti orang kebanyakan, justru kami saling mengenal setelah menikah. Walaupun awalnya saya harus berjibaku untuk beradabtasi dengan suami dan keluarga besarnya yang sangat berbeda adat istiadatnya, Alhamdulillah saya bisa menjalani semuanya.
Membentuk sebuah keluarga, tentunya keinginan semua orang. Di benak saya, semua yang indah – indah terlukis. Berharap mendapatkan suami yang romatis, karena saya sendiri orangnya agak kaku. Berharap yang punya hoby sama; traveling, naik gunung, baca buku. Tujuannya agar saat ngobrol bisa nyambung. Berharap dia lebih macho karena saya dulunya tomboy, lebih tau banyak hal, dibanding saya, dan begitu banyak harapan lainnya.
Allah berikan saya, seorang pria yang jauh….dari romatis, penyabar, lurus, serius, jarang bercanda, bahkan seringkali tidak sadar kalau sedang dijadikan bahan candaan oleh saya dan ponakan. Tidak hoby naik gunung atau olahraga resiko tinggi. Tutur katanya sangat halus dan santun terhadap semua (sssst…bocoran, hati bunda kepincut karena sikapnya yang satu ini), sikapnya Lebih lembut dari saya, lebih sabar juga dari saya. Masalah tarbiyah yang saya takutkan terjawab. Walaupun dia belum ikut tarbiyah, ibadah hariannya sangat konsisten. Bahkan saya sering malu sendiri jika terkadang muncul rasa malas. Indahnya tarbiyah ia rasakan tak lama setelah kami menikah.
Melihat semua hal yang ada pada dirinya, hati ini semakin yakin inilah jodoh terbaik yang Allah berikan untuk saya. Allah memberikan apa saya butuhkan, bukan apa saya inginkan. Tersadar bahwa ini adalah berkah yang saya dapat, karena mencari ridho orang tua (terutama bunda). Mengingat tidak ada aral melintang dan permasalahan yang cukup besar selama berumah tangga sekian tahun. Semoga cinta yang Allah tumbuhkan pada kami berdua kekal sampai hari di mana kami dipertemukan kembali di Jannah-Nya.
Senin, 20 Desember 2010
Mengharap Restu Bunda
“Loh, pak ini angkot mau kemana? Kok arahnya ke sini?” Tanya saya saat melihat angkot yang saya tumpangi berbelok ke arah yang tidak seharusnya. Biasanya dari Sukasari, angkot seharusnya bergerak lurus ke arah Tajur. Dari Ciawi kemudian melanjutkan naik angkot ke arah Cibedug. Tapi kali ini angkot berputar ke arah Batu Tulis, kemudian melewati kuburan China, dan keluar di daerah Rancamaya. Arahnya jauh melenceng dari tujuan semula.
“Arah ke Ciawi macet banget, neng. Angkot juga lagi demo. Karena ada rencana trayek baru.” Jawab sang supir.
“Neng turun di sini trus nyebrang, nanti nyambung naik angkot turun di Truba naik ojeg ke Cibedug. Atau naik bis yang arah ke Sukabumi. Angkot agak jarang, karena kalo narik bisa ditimpukin sama yang demo.” Tambah sang supir.
Akhirnya dengan terpaksa saya turun, bingung mau melanjutkan perjalanan naik apa. Janji datang jam 10 sudah lewat satu jam. Duh…, pastinya Ummi sudah menunggu saya. Alhamdulillah ada bis kea rah Sukabumi lewat. Sayapun naik. Sekarang berjaga agar bisa turun di Truba (masalah baru, karena saya tidak tau truba itu di mana). Bertanya sama kondektur bis, diapun tidak tau di mana Truba. Duh…., kok jadi repot begini.
Tidak menyerah, sayapun mencoba sms ke teman yang kebetulan rumahnya di Cigombong, menunggu lama tak juga dijawab. Tak juga putus asa, saya kirim sekaligus sms ke beberapa teman. Saat saya menunggu balasan sms, HP berdering.
“Assalamu’alaikum, Lis, sekarang sudah di mana kok belum sampe juga? Sudah ditunggu sedari tadi, segera ke sini ya…, jangan mampir-mampir dulu” Suara Ummi di sana
“Wa’alaikumsalam, Ummi…., Lis masih di jalan nih…, angkot lagi demo. Bentar lagi mungkin sampai.” Jawab saya, sambil sesekali melihat ke sisi jalan mencari tanda atau plang nama Truba. Perjalanan jadi tidak menyenangkan hari ini. Belum sempat menerima balasan sms dari teman-teman, HP saya Low batt. Astaghfirullah….., lengkap sudah.
Beberapa penumpang coba saya Tanya, tentang alamat truba. Berharap ada yang tau. Nihil, tak seorangpun yang tau di mana itu Truba. Tiba-tiba saja saya teringat rumah teman di Cigombong, akhirnya saya turun tak jauh dari rumahnya. Silaturahim sebentar dan bertanya tentang rute tercepat ke Cibedug. Nyasarnya cukup jauh. Pffffh… lelahnya, belum makan pula.
Kembali naik Bis kali ini kea rah Jakarta, turun di Truba (Alhamdulillah sudah mendapat info yang jelas dari teman). Naik ojeg, dengan harga yang fantastis menuju Cibedug. Aji mumpung si tukang ojek saat angkot demo.
Sampai di Rumah Ummi Arif, sudah jam setengah satu siang. Waktunya ngaji pekanan. Beberapa teman sudah hadir di lingkaran kecil kami.
“Dari mana aja, kok baru datang? Udah ditungguin tuh… sama Ummi. Eh…ngomong-ngomong selamat ya….” Seorang teman menyalami saya sambil mesem-mesem ga jelas
“Orang nyasar sampe Cigombong kok dikasih selamat. Gimana sih.” Sanggah saya. Setelah bersalaman sambil cupika cupiki, dengan semua teman dalam lingkaran, Ummi bicara.
“Lis, cepetan ke depan…, kerjain isian yang di papan tulis ya… kalau sudah selesai baru ke sini. Yang lain sudah mengerjakan tugas itu.” Kata Ummi.
“Baik Mi, tapi saya Sholat dulu ya…, tadi nyasar-nyasar ada demo angkot. Jadi belum sempet Dhuhur.” Jawab saya, sambil melenggang menuju tempat wudhu. Sementara beberapa teman memandang saya sambil senyam senyum aneh.
Selesai sholat, saya berjalan ke ruang depan. Ruangan kosong lainnya di rumah Ummi yang biasa di jadikan ruang pertemuan untuk syuro. Ruang kecil berukuran tiga kali tiga meter berlantai keramik putih tanpa karpet, yang dilengkapi white board besar di dindingnya. Saya pun duduk di depan papan tulis, mencoba menjawab quesioner. Sesekali terdengar ada suara pembicaraan antara Abi (suami Ummi Arif) dengan seorang tamu.
Saat saya sedang mengerjakan tugas, lewatlah seorang ikhwan (tamu Abi). Tapi saya yang sedang serius mengerjakan tugas tidak begitu memperhatikan siapa yang lewat. Hanya kelebat bayangan orang saja yang terlihat. Selesai mengerjakan tugas sayapun kembali dalam lingkaran. Kali ini Aisyah (teman ngaji saya) tambah lebar nyengirnya.
“Gimana tadi?” tanyanya penuh selidik. Sambil mengedipkan matanya.
“Gimana apanya? Udah selesai nih ngerjain tugasnya.” Jawab saya polos sambil menyerahkan selembar kertas kepada Ummi.
“Ih… bukan itu…” Sanggah Aisyah, wajahnya tampak tidak puas dengan penjelasan saya.
“Apanya? Kan sama-sama ngerjain isian yang di papan tulis.Memangnya ada yang lain?”Tanya saya bingung.Ummi Arif pun menengahi
“Sudah…sudah…, kita lanjutkan saja ngajinya ya…” pertanyaan sayapun menggantung dan tidak dilanjutkan.
---------
Ba’da maghrib di rumah, HP saya berbunyi. Dari Ummi Arif. Saya angkat sambil berjalan ke halaman rumah, karena di dalam kamar signalnya putus-putus.
“Assalamu’alaikum Mi, ada kabar apa mi? Kok pake telepon segala, kan tadi juga dari rumah Ummi? Ada yang kelupaan ya…?” Tanya saya
“Wa’alaikumsalam Lis. Tadi ngerti ga kenapa disuruh datang lebih awal, dari teman-teman?” pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan. Waduh… kok aneh nih.
“Wah…, saya ngga ngerti Mi, kalau sekedar mengerjakan tugas di papan tulis tadi, kalau sekedar mengerjakan tugas tadi sih, seharusnya bisa aja barengan dengan yang lain. Toh teman-teman juga ngerjainnya sama-sama. Alasan lain saya ga tau, memangnya ada apa sih Mi?” Jawaban sekaligus pertanyaan baru dari saya
“Lis, tadi pas ngerjain tugas di depan liat ada orang yang ngobrol sama Abi ga?” Tanya ummi lagi. Tetap pertanyaan dijawab dengan pertanyaan baru lagi.
Waduh… makin bingung saya, sepertinya Ummi ada yang mau disampaikan tapi kok ya muter-muter seperti ini.
“Tadi sih denger Mi, kayanya ada orang yang ngobrol sama Abi di ruang tamu. Cuma saya ngga tau siapa.” Jawab saya jujur
“Jadi tadi Lis, engga lihat wajah orang yang lewat itu?” Tanya Ummi lagi.
“Ih…Ummi gimana nih…, katanya ke depan disuruh ngerjain tugas. Ya… saya Cuma kerjakan tugas aja. Memang sih..ada Ikhwan lewat gitu. Cuma saya ga lihat mukanya. Kan lagi serius ngerjain Quiesioner dari Ummi. Beneran ga liat mukanya, memangnya ada apa Mi?” Jawab saya, yang tambah bingung. Perasan mulai agak tidak nyaman nih.
“Gini deh, to the point aja. Tadi Itu, Ikhwan yang mau dikenalin sama Lis. Biodata Lis sudah ada di Ikhwannya. Nah…tadinya Ummi mau kasih biodata itu Ikhwan, tapi Abi lupa kasih ke Ummi. Di email saja ya.” kata ummi menjelaskan.
Deg…. Jantung serasa berhenti berdetak. Ya Allah…, ternyata itu yang membuat teman ngaji senyam senyum plus mengucapkan selamat.
“Oh … begitu….. boleh deh Mi, dikirim via email saja. Berhubung dua pekan yang akan datang baru bisa hadir lagi ke tempat Ummi, karena pekan depan mau ke Jawa Timur sama Bunda.”Jawab saya
Singkat cerita, Biodata Ikhwan tersebut tidak kunjung sampai juga. Entah alamat email yang salah spelling atau apalah saya tidak mengerti. Beberapa hari kemudian Ummi dan Abi silaturahim ke rumah, bertemu dengan Bunda. Karena mumpung Bunda ada di Indonesia, sekaligus pendekatan untuk rencana ta’aruf nanti.
Setelah menerima kunjungan Ummi & Abi, Bunda curiga, dan mencoba menebak-nebak ada apa dibalik kunjungan tersebut. Saya tetap belum mau menjelaskan, karena biodata ikhwan belum ditangan. Sementara teman ngaji sudah mulai kasak kusuk mengadakan pendekatan kepada Bunda (kebetulan teman ngaji sangat dekat dengan keluarga). Sampai pada satu saat, isu itu terdengar dan terbaca oleh ibunda yang agak anti dengan kegiatan pengajian saya.
“Kamu itu bagaimana sih Nduk? Lah wong ketemu sama orangnya saja belum, kenal saja belum, kerja dimana, anaknya siapa, bagaimana akhlaknya, lah kok mau dijodohin sama kamu terus kamunya mau saja piye toh?” Bunda mengungkapkan kekesalannya.
Saya berusaha menjelaskan, tahapan Ta’aruf itu seperti apa kepada bunda, tapi sepertinya bunda tidak mudah mengerti begitu saja.
“Tinggal kamu anakku yang belum menikah, pokoknya kamu harus nurut apa kata bunda. Wis… toh, jodohmu biar bunda yang cari. Ga percoyo aku sama jodoh dari temen ngaji mu itu. Ndang lihat kakak-kakakmu, hidupnya susah semua. Cuma satu orang saja yang bisa hidup senang. Lainnya apa…, susah semua. Aku ndak mau koe koyo ngono nduk.” Tambah Bunda lagi.
Semakin sulit rasanya saya bersikeras melanjutkan proses ta’aruf. Bingung harus bagaimana menjelaskan ke Ummi dan pihak Ikhwan.
Ya…Robbi, hamba mohon petunjuk-Mu, jika memang ini bukan jodoh hamba. Ikhlaskan hati ini untuk menerima keputusan bunda untuk tidak melanjutkan ta’aruf ini.
Beliau tidak setuju saya dijodohkan, dengan orang yang belum dikenal dengan baik. Bagaimana mau mengadakan pendekatan ke orang tua, biodata si Ikhwan saja tidak tau. Apa yang harus saya sampaikan benar-benar tidak ada bahan. Yang ada saya jadi bulan-bulanan dicomplain bunda. Menurut sumber yang dipercaya, si Ikhwan sudah berharap banyak pada saya. Ikhwan tersebut sudah mantap hatinya, hasil istikharah sekian lama.
Beberapa kali Ummi juga tetap mencoba untuk melaksanakan ta’aruf, dan melakukan pendekatan pada bunda, tapi Allah berkehendak lain. Terbukti dari nyasarnya saya hari itu, tidak melihat wajah si ikhwan, biodata yang tidak kunjung datang ke alamat email saya, sampai dengan sikap bunda yang tidak setuju 100%. Duh…., dengan berat hati mencoba menjelaskan tentang sikap bunda ke Ummi. Berharap semoga Ikhwannya mengerti dan memaafkan saya. Yakin, saja. Mungkin ini belum jodoh dari-Nya. Yakin saja, bahwa si Ikhwan nantinya akan mendapatkan akhwat yang lebih baik dari saya, begitupun sebaliknya.
“Arah ke Ciawi macet banget, neng. Angkot juga lagi demo. Karena ada rencana trayek baru.” Jawab sang supir.
“Neng turun di sini trus nyebrang, nanti nyambung naik angkot turun di Truba naik ojeg ke Cibedug. Atau naik bis yang arah ke Sukabumi. Angkot agak jarang, karena kalo narik bisa ditimpukin sama yang demo.” Tambah sang supir.
Akhirnya dengan terpaksa saya turun, bingung mau melanjutkan perjalanan naik apa. Janji datang jam 10 sudah lewat satu jam. Duh…, pastinya Ummi sudah menunggu saya. Alhamdulillah ada bis kea rah Sukabumi lewat. Sayapun naik. Sekarang berjaga agar bisa turun di Truba (masalah baru, karena saya tidak tau truba itu di mana). Bertanya sama kondektur bis, diapun tidak tau di mana Truba. Duh…., kok jadi repot begini.
Tidak menyerah, sayapun mencoba sms ke teman yang kebetulan rumahnya di Cigombong, menunggu lama tak juga dijawab. Tak juga putus asa, saya kirim sekaligus sms ke beberapa teman. Saat saya menunggu balasan sms, HP berdering.
“Assalamu’alaikum, Lis, sekarang sudah di mana kok belum sampe juga? Sudah ditunggu sedari tadi, segera ke sini ya…, jangan mampir-mampir dulu” Suara Ummi di sana
“Wa’alaikumsalam, Ummi…., Lis masih di jalan nih…, angkot lagi demo. Bentar lagi mungkin sampai.” Jawab saya, sambil sesekali melihat ke sisi jalan mencari tanda atau plang nama Truba. Perjalanan jadi tidak menyenangkan hari ini. Belum sempat menerima balasan sms dari teman-teman, HP saya Low batt. Astaghfirullah….., lengkap sudah.
Beberapa penumpang coba saya Tanya, tentang alamat truba. Berharap ada yang tau. Nihil, tak seorangpun yang tau di mana itu Truba. Tiba-tiba saja saya teringat rumah teman di Cigombong, akhirnya saya turun tak jauh dari rumahnya. Silaturahim sebentar dan bertanya tentang rute tercepat ke Cibedug. Nyasarnya cukup jauh. Pffffh… lelahnya, belum makan pula.
Kembali naik Bis kali ini kea rah Jakarta, turun di Truba (Alhamdulillah sudah mendapat info yang jelas dari teman). Naik ojeg, dengan harga yang fantastis menuju Cibedug. Aji mumpung si tukang ojek saat angkot demo.
Sampai di Rumah Ummi Arif, sudah jam setengah satu siang. Waktunya ngaji pekanan. Beberapa teman sudah hadir di lingkaran kecil kami.
“Dari mana aja, kok baru datang? Udah ditungguin tuh… sama Ummi. Eh…ngomong-ngomong selamat ya….” Seorang teman menyalami saya sambil mesem-mesem ga jelas
“Orang nyasar sampe Cigombong kok dikasih selamat. Gimana sih.” Sanggah saya. Setelah bersalaman sambil cupika cupiki, dengan semua teman dalam lingkaran, Ummi bicara.
“Lis, cepetan ke depan…, kerjain isian yang di papan tulis ya… kalau sudah selesai baru ke sini. Yang lain sudah mengerjakan tugas itu.” Kata Ummi.
“Baik Mi, tapi saya Sholat dulu ya…, tadi nyasar-nyasar ada demo angkot. Jadi belum sempet Dhuhur.” Jawab saya, sambil melenggang menuju tempat wudhu. Sementara beberapa teman memandang saya sambil senyam senyum aneh.
Selesai sholat, saya berjalan ke ruang depan. Ruangan kosong lainnya di rumah Ummi yang biasa di jadikan ruang pertemuan untuk syuro. Ruang kecil berukuran tiga kali tiga meter berlantai keramik putih tanpa karpet, yang dilengkapi white board besar di dindingnya. Saya pun duduk di depan papan tulis, mencoba menjawab quesioner. Sesekali terdengar ada suara pembicaraan antara Abi (suami Ummi Arif) dengan seorang tamu.
Saat saya sedang mengerjakan tugas, lewatlah seorang ikhwan (tamu Abi). Tapi saya yang sedang serius mengerjakan tugas tidak begitu memperhatikan siapa yang lewat. Hanya kelebat bayangan orang saja yang terlihat. Selesai mengerjakan tugas sayapun kembali dalam lingkaran. Kali ini Aisyah (teman ngaji saya) tambah lebar nyengirnya.
“Gimana tadi?” tanyanya penuh selidik. Sambil mengedipkan matanya.
“Gimana apanya? Udah selesai nih ngerjain tugasnya.” Jawab saya polos sambil menyerahkan selembar kertas kepada Ummi.
“Ih… bukan itu…” Sanggah Aisyah, wajahnya tampak tidak puas dengan penjelasan saya.
“Apanya? Kan sama-sama ngerjain isian yang di papan tulis.Memangnya ada yang lain?”Tanya saya bingung.Ummi Arif pun menengahi
“Sudah…sudah…, kita lanjutkan saja ngajinya ya…” pertanyaan sayapun menggantung dan tidak dilanjutkan.
---------
Ba’da maghrib di rumah, HP saya berbunyi. Dari Ummi Arif. Saya angkat sambil berjalan ke halaman rumah, karena di dalam kamar signalnya putus-putus.
“Assalamu’alaikum Mi, ada kabar apa mi? Kok pake telepon segala, kan tadi juga dari rumah Ummi? Ada yang kelupaan ya…?” Tanya saya
“Wa’alaikumsalam Lis. Tadi ngerti ga kenapa disuruh datang lebih awal, dari teman-teman?” pertanyaan saya dijawab dengan pertanyaan. Waduh… kok aneh nih.
“Wah…, saya ngga ngerti Mi, kalau sekedar mengerjakan tugas di papan tulis tadi, kalau sekedar mengerjakan tugas tadi sih, seharusnya bisa aja barengan dengan yang lain. Toh teman-teman juga ngerjainnya sama-sama. Alasan lain saya ga tau, memangnya ada apa sih Mi?” Jawaban sekaligus pertanyaan baru dari saya
“Lis, tadi pas ngerjain tugas di depan liat ada orang yang ngobrol sama Abi ga?” Tanya ummi lagi. Tetap pertanyaan dijawab dengan pertanyaan baru lagi.
Waduh… makin bingung saya, sepertinya Ummi ada yang mau disampaikan tapi kok ya muter-muter seperti ini.
“Tadi sih denger Mi, kayanya ada orang yang ngobrol sama Abi di ruang tamu. Cuma saya ngga tau siapa.” Jawab saya jujur
“Jadi tadi Lis, engga lihat wajah orang yang lewat itu?” Tanya Ummi lagi.
“Ih…Ummi gimana nih…, katanya ke depan disuruh ngerjain tugas. Ya… saya Cuma kerjakan tugas aja. Memang sih..ada Ikhwan lewat gitu. Cuma saya ga lihat mukanya. Kan lagi serius ngerjain Quiesioner dari Ummi. Beneran ga liat mukanya, memangnya ada apa Mi?” Jawab saya, yang tambah bingung. Perasan mulai agak tidak nyaman nih.
“Gini deh, to the point aja. Tadi Itu, Ikhwan yang mau dikenalin sama Lis. Biodata Lis sudah ada di Ikhwannya. Nah…tadinya Ummi mau kasih biodata itu Ikhwan, tapi Abi lupa kasih ke Ummi. Di email saja ya.” kata ummi menjelaskan.
Deg…. Jantung serasa berhenti berdetak. Ya Allah…, ternyata itu yang membuat teman ngaji senyam senyum plus mengucapkan selamat.
“Oh … begitu….. boleh deh Mi, dikirim via email saja. Berhubung dua pekan yang akan datang baru bisa hadir lagi ke tempat Ummi, karena pekan depan mau ke Jawa Timur sama Bunda.”Jawab saya
Singkat cerita, Biodata Ikhwan tersebut tidak kunjung sampai juga. Entah alamat email yang salah spelling atau apalah saya tidak mengerti. Beberapa hari kemudian Ummi dan Abi silaturahim ke rumah, bertemu dengan Bunda. Karena mumpung Bunda ada di Indonesia, sekaligus pendekatan untuk rencana ta’aruf nanti.
Setelah menerima kunjungan Ummi & Abi, Bunda curiga, dan mencoba menebak-nebak ada apa dibalik kunjungan tersebut. Saya tetap belum mau menjelaskan, karena biodata ikhwan belum ditangan. Sementara teman ngaji sudah mulai kasak kusuk mengadakan pendekatan kepada Bunda (kebetulan teman ngaji sangat dekat dengan keluarga). Sampai pada satu saat, isu itu terdengar dan terbaca oleh ibunda yang agak anti dengan kegiatan pengajian saya.
“Kamu itu bagaimana sih Nduk? Lah wong ketemu sama orangnya saja belum, kenal saja belum, kerja dimana, anaknya siapa, bagaimana akhlaknya, lah kok mau dijodohin sama kamu terus kamunya mau saja piye toh?” Bunda mengungkapkan kekesalannya.
Saya berusaha menjelaskan, tahapan Ta’aruf itu seperti apa kepada bunda, tapi sepertinya bunda tidak mudah mengerti begitu saja.
“Tinggal kamu anakku yang belum menikah, pokoknya kamu harus nurut apa kata bunda. Wis… toh, jodohmu biar bunda yang cari. Ga percoyo aku sama jodoh dari temen ngaji mu itu. Ndang lihat kakak-kakakmu, hidupnya susah semua. Cuma satu orang saja yang bisa hidup senang. Lainnya apa…, susah semua. Aku ndak mau koe koyo ngono nduk.” Tambah Bunda lagi.
Semakin sulit rasanya saya bersikeras melanjutkan proses ta’aruf. Bingung harus bagaimana menjelaskan ke Ummi dan pihak Ikhwan.
Ya…Robbi, hamba mohon petunjuk-Mu, jika memang ini bukan jodoh hamba. Ikhlaskan hati ini untuk menerima keputusan bunda untuk tidak melanjutkan ta’aruf ini.
Beliau tidak setuju saya dijodohkan, dengan orang yang belum dikenal dengan baik. Bagaimana mau mengadakan pendekatan ke orang tua, biodata si Ikhwan saja tidak tau. Apa yang harus saya sampaikan benar-benar tidak ada bahan. Yang ada saya jadi bulan-bulanan dicomplain bunda. Menurut sumber yang dipercaya, si Ikhwan sudah berharap banyak pada saya. Ikhwan tersebut sudah mantap hatinya, hasil istikharah sekian lama.
Beberapa kali Ummi juga tetap mencoba untuk melaksanakan ta’aruf, dan melakukan pendekatan pada bunda, tapi Allah berkehendak lain. Terbukti dari nyasarnya saya hari itu, tidak melihat wajah si ikhwan, biodata yang tidak kunjung datang ke alamat email saya, sampai dengan sikap bunda yang tidak setuju 100%. Duh…., dengan berat hati mencoba menjelaskan tentang sikap bunda ke Ummi. Berharap semoga Ikhwannya mengerti dan memaafkan saya. Yakin, saja. Mungkin ini belum jodoh dari-Nya. Yakin saja, bahwa si Ikhwan nantinya akan mendapatkan akhwat yang lebih baik dari saya, begitupun sebaliknya.
Langganan:
Komentar (Atom)